Diksi “radikalisme” sedang menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Ada sebagian pihak melontarkan asumsi pentingnya penanggulangan radikalisme, menganggap hanya sebagai isu tematik yang sengaja dimainkan dan sebagian lainnya menganggap radikalisme adalah penyakit yang harus diobati.
Aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes kota Medan kembali menambah deretan aksi teror di Indonesia. Peledakan bom tersebut tak pelak menjadi pekerjaan rumah kota bersama bahwa segala bentuk aksi teror harus dilawan dan diperangi sampai ke akar-akarnya. Selain membuat resah dan mengancam nyawa orang banyak. Aksi teror juga merugikan negara dalam hal apapun.
Terlepas dari asumsi berbagai pihak, yang jelas radikalisme pasti bisa muncul kapan saja dan di manapun tempatnya. Di sinilah sebenarnya kita harus selalu waspada, pun jika rezim kekuasaan saat ini berusaha keras mengangkat pedang memerangi radikalisme.
Kasak-kusuk yang sedang trending memang tidak berlebihan mengingat jika kita semua mau menengok kebelakang, amat banyak sekali aksi-aksi dari para teroris yang tidak hanya membuat resah masyarakat, lebih dari itu banyak korban-korban berjatuhan. Hemat saya, di samping perlunya memberantas aksi teror, kita harus pula mengankui punya memlunyai sebuah problem juga bernama intoleransi.
Bersikap menghargai (pendapat, pendirian, kebiasaan dan kepercayaan) orang lain “toleransi” bukanlah suatu yang mudah dilakukan, terlebih dalam keadaan bangsa kita yang heterogen atasnya amat sangat tinggi. Namun sikap toleransi inilah yang membuat kita menutup mata terhadap lingkungan sekitar sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain, menganggap yang berbeda dari pandangan dan kepercayaan kita adalah sebuah kesalahan sehingga menimbulkan permusuhan.
Toleransi menuntut untuk selalu “open mind” dalam melihat sebuah perbedaan sebagai keragaman, sehingga dampak atas kesadaran itu adalah timbulnya sikap menghormati dan menghargai terhadap sesama anak bangsa. Sedangkan kebalikannya adalah kecenderungan melihat perbedaan dengan “close mind“, kesempitan cara pandang ini berdampak sikap merasa diri sendiri paling benar dan dengan mudahnya menganggap selain dirinya sendiri mesti salah.
Praktek toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara tidak langsung akan menjadi tatanan yang damai dan harmoni, menumbuhkan sikap menghargai dan menghormati orang lain tanpa harus saling menyalahkan dan saling memusuhi.
Berbeda jauh dari toleransi, intoleransi justru sama sekali menutup mata dan telinga terhadap pandangan dan kepercayaan orang lain, menganggap perbedaan sebagai hal yang harus di pertentangkan setiap saat. Ketidakmampuan melihat keragaman adalah buntut dari menutup pikiran “close mind“. Semua dianggap salah dan patut disalahkan sehingga merasa paling benar sendiri.
Intoleransi yang mengkristal akan menimbulkan beberapa sikap. Pertama, tidak menerima adanya perbedaan sehingga berupaya dengan segala cara memberangus (ekstrimis). Kedua, menghalalkan segala cara untuk melawan.
Dalam upaya tersebut, mereka menghimpun kekuatan dengan bersembunyi di balik topeng politik, agama, budaya, gender dan lainnya. buntut dari tindakan yang demikian akan memunculkan embrio perpecahan-perpecahan. Selanjutnya dapat menjalar ke berbagai sendi kehidupan lantas berubah menjadi ancaman berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perekat bangsa menjadi lemah dan mudah terurai.
Menganggap sepele problem “intoleransi” dan “radikalisme” sama dengan perlahan membiarkan lepasnya ikatan keberagaman. Lepasnya ikatan keberagaman menandai keteruraian sebuah bangsa. Dalam kondisi demikian sebuah bangsa berada di ambang pintu perpecahan dan kehancuran.
Penulis: Ahmad Qomaruddin