Kasus rasialisme yang menimpa suadara-saudara kita dari Papua di Surabaya, Jawa Timur, berawal dari ujaran kebencian. Dengan menyebut pihak lain dengan sebutan nama binatang, tentu sangat tidak etis dan bisa merusak tatanan sosial dalam berbangsa dan bernegara. Di tengah gemerlap media sosial, memang sering terjadi umpatan, caci maki, dan segala bentuk ujaran kebencian yang menjurus pada terjadinya konflik internal-hirizontal sesama anak bangsa.
Momentum Tahun Baru Hijrah adalah momen yang tepat untuk merefleksikan kembali tentang makna penting persaudaraan sesama anak bangsa. Sikap saling asah dalam beragama, dan saling asuh dalam kehidupan sosial harus tetap dijaga. Peristiwa hijrah merupakan hal yang tepat sebagai pintu masuk refleksi. Akan tetapi hijrah yang dimaksud di sini buknlah hijrah sekadar berhenti pada fisik: pindah tempat, ganti mode baju, ganti cara berbicara, dan ganti ustad tempat mengaji. Tidak sesempit itu! Hijrah memiliki makna nan luas, mencakup psikis, batin, mental, dan sosial-kemasyarakatan.
Hijrah yang hanya berhenti pada fisik, itu bukanlah hijrah, melainkan hijrah-hijrahan! Hijrah memiliki makna yang sangat dalam, yakni perpindahan dari sesuatu yang bersifat buruk, jelek, tidak aman menuju sesuatu yang baik, bagus, dan aman-damai.
Dalam konteks Indonesia, sesuatu yang buruk, jelek, dan penuh ketidak-amanan adalah ujaran kebencian. Ujaran kebencian merusak tatanan hidup bermasyarakat, menyobek kedamaian, dan mengabaikan perbedaan pendapat dan keberagaman. Ujaran kebencian dengan segala turunannya, hoax, provokasi, fitnah, dan caci-maki, semakin hari semakin menjadi-jadi, baik dalam kehidupan sehari terlebih-lebih di media sosial.
Momentum Tahun Baru Hijrah merupakan momen yang tepat untuk merefleksikan sikap kita dalam berbangsa dan bernegara. Nabi hijrah dari Mekkah menuju Madinah, bukan memberangus keberagaman, perbedaan, melainkan mengakomodir semua golongan dengan perjanjian Madinah sebagai konstitusi bersama kala itu. Bahkan bagi sebagian kalangan, itu adalah konstitusi pertama di dunia ini.
Menuju Persuadaraan
Nilai-nilai moral yang terkandung dalam praktik Hijrah Nabi, bisa dijadikan sebagai rambu-rambu jalan dalam berbangsa dan bernegara. Nabi selama di Mekkah, selalu dicaci, dimaki, difitnah, diprovokasi, dan dihilangkan hak-hak kemanusiaannya, berupa pelarangan untuk berdakwah dan pemboikotan. Meskipun demikian, pasca hijrah ke Madinah, Nabi tak ada niat –baik secara potensial maupun aktual –untuk balas dendam. Ini bisa dilihat dari peristiwa fath Makkah (penaklukan Mekkah), Nabi memaafkan dan mengayomi semua pihak yang dulu memusuhinya.
Sikap Nabi ini adalah potret hijrah yang substansial dan sebenar-benar hijrah. Di era sekarang –tanpa maksud menghakimi –sering kita lihat orang yang mendaku sudah hijrah, tetapi perilaku, perkataan, dan tindak-tanduk mereka tidak mencerminkan kualitas hijrah. Mereka dengan enteng mengatai pihak lain tidak syar’i, belum dapat hidayah, kurang islami, masih dalam kesesatan, bahkan tak jarang melontarkan perkataan kafir dan neraka kepada pihak dan agama lain, yang mereka anggap belum hijrah.
Hijrah model ini sejatinya hanya hijrah simbolik-artifisial. Fisiknya saja yang hijrah, tetapi hati, psikis, mental, sikap, dan sosial-kemasyarakatan jauh dari semangat hijrah yang dicontohkan Nabi. Hijrah itu harus secara komprehensif, tidak sebatas jargon kata-kata dan pakaian. Hijrah yang berhenti pada luar dan tampilan fisik sesungguhnya menyempitkan makna hijrah itu sendiri.
Anekdot yang mengatakan bahwa sebelum hijrah sibuk dengan dosanya sendiri, sementara setelah hijrah sibuk dengan dosa orang lain, jauh dari hakikat hijrah itu sendiri, dan harus dihindari. Hijrah hakiki adalah memenuhi dunia –terutama dunia maya –dengan penuh kedamaian, status dan tweet yang merangkul, meme dan video yang menghargai perbedaan dan keberagaman.
Hijrah itu untuk berbenah menuju insan yang mulia penuh dengan akhlakul karimah. Semangat hijrah adalah semangat memuliakan manusia lain, mangakomodir perbedaan, dan menghargai keberagaman. Efeknya akan terlihat pada sikap dan perbuatan. Provokasi, caci-maki, fitnah, umpatan, mengatai agama dan keyakinan orang lain dengan kata-kata kotor harus ditinggalkan. Hijrah pada hakikatnya adalah menghindari ujaran kebencian menuju ujaran kebenaran.
Media sosial, baik itu Fecebook, Instagram, Youtube, dan sejenisnya harus dipenuhi dengan kebijaksanaan dan akhlakul karimah. Berhijrah berarti pindah dari kebiasaan mensharing apa aja, mengomentari apa saja tanpa tahu sebab-musababnya, menyukai postingan ujaran kebencian, menuju sikap saring sebelum sharing, mengomentari secara proporsional, dan menyukai ujaran kebenaran. Dengan begitu, hijrah adalah proses transformasi dari ujaran kebencian menuju ujaran kebenaran demi terwujudnya kedamaian.
Penulis: Hamka Husein Hasibuan – (Alumni Sekolah Kemanusian dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif, Maarif Institute)