Tidak bisa dipungkiri berdirinya Bangsa Indonesia tidak lepas dari peran kiai dan santri. Semenjak kedatangan kolonial Inggris dan Hindia Belanda ke Nusantara banyak para ulama yang melakukan pemberontakan atas kebijakan yang merugikan masyarakat pribumi. Salah satu tokoh ulama yang masyur dalam melawan kolonialisme adalah Pangeran Diponegoro.
Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Fatwa dan Resolusi Jihad (2017) . “Perang Jawa yang disulut Pangeran Diponegoro, dapat dianggap sebagai refleksi kesadaran bagi bangkitnya nasionalisme berskala luas yang pertama sepanjang sejarah kolonialisme di Indonesia sekalipun lingkup pertempuran fisiknya berlangsung di Jawa Tengah. Dikatakan kesadaran bagi bangkitnya nasionalisme berskala luas yang pertama, karena pihak-pihak yang terlibat perang terutama yang berpihak kepada Pangeran Diponegoro bukan hanya orang Jawa melainkan juga orang-orang Bugis, Bali, Sunda, Peranakan Tionghoa, India bahkan para syarif, sayyid dan syekh berasal dari Arab dan keturunannya yang karena latar kesamaan agama dan kesamaan perasaan dalam membenci Belanda, mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro.’’
Perjuangan dalam mempertahankan keutuhan Bangsa Indonesia diperlihatkan para ulama tidak hanya pada masa penjajahan Belanda saja. Pasca 17 Agustus 1945, banyak negara di dunia yang tidak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia. Di mata dunia Indonesia adalah negara fasisme jepang atau negara boneka. Perspektif ini semakin kuat dengan dibuktikannya Soekarno ketika menjelang kemerdekaan pergi ke Jendral Terauchi dan mengetik naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
Hal ini membuat Soekarno khawatir karna bisa saja Belanda menguasai Indonesia kembali. Tak lama kemudian Soekarno sowan ke K.H Hasyim Asy’ari untuk meminta fatwa bagaimana hukumnya membela negara yang bukan negara islam, K.H Hasyim berfatwa bahwa membela negara yang bukan negara islam hukumnya Fardhu ‘Ain dan matinya mati Syahid. Kemudian pada tanggal 22 Oktober PBNU mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini adalah bentuk peneguhan komitmen N.U terhadap NKRI.
Berita ini pun langsung menyebar termasuk pada rakyat Surabaya. Tiga hari pasca tercetusnya fatwa resolusi jihad, Inggris datang ke Surabaya atas permintaan Soekarno untuk mengurusi tahanan jepang. Tentara Inggris membuat pos-pos untuk keamanan di Surabaya. Karena oleh rakyat Surabaya dikira sekutu Belanda, pada tanggal 26 sampai 29 Oktober terjadi pertempuran antara rakyat Surabaya dengan Pasukan Inggris. Semua pelaku dan saksi mata mengatakan peristiwa tersebut bukanlah perang, tetapi tawuran karna tidak ada pemimpin perang dalam peristiwa tersebut. Hampir 2000 tentara Inggris mati, dan puncaknya pada tanggal 30 Oktober 1945 Jenderal besar Inggris tewas. Tewasnya Jenderal Besar ini membuat Inggris menjadi marah. Dan peristiwa ini juga yang melatar belakangi terjadinya pertempuran 10 November di Surabaya.
Tantangan Kaum Sarungan
Media sosial saat ini sangat masif di dunia. Dengan akses yang sangat mudah, media sosial digunakan sebagai sarana dakwah. Secara instan media sosial mampu mencetak ustadz-ustadz baru yang tingkat kebenaran dakwahnya diukur dari banyaknya followers. Sayangnya ustadz medsos yang cepat viral tersebut dalam berdakwah sangat jarang menampilkan ajaran islam ramah khas Nusantara. Dalam dakwahnya apa yang disampaikan ustadz medsos kebanyakan lebih mengarah kepdada ajaran Islam yang eksklusif.
Para jamaah tak luput dari ajakan ustadz medsos untuk berhijrah. Banyak orang yang salah paham tentang hijrah. Fenomenanya mereka menganggap hijrah sebagai pembenaran terhadap dirinya sendiri. Memakai cadar, sorban, dan atribut yang menutup seluruh tubuh. Kemudian merendahkan dan menyakiti sesama umat manusia yang tidak sama dengan mereka.
Kesalahan berfikir ini tentu saja bertentangan dengan visi agama Islam untuk tidak menyalahkan sesama umat atau manusia. Penyempitan makna hijrah dengan formalistik belaka dan lupa akan substansi keagamaan, maka akan menyebkan nirmakna. Apa yang terjadi? Akan menganggap diri paling benar dan mempersetankan pendapat orang lain. Parahnya ada ustadz medsos yang mendoktrin para jama’ahnya bahwa sistem kenegaraan yang sesuai dengan syari’at islam adalah khilafah. Dari situ akan mengakibatkan terkikisnya jiwa nasionalisme dan hilangnya rasa cinta tanah air dari jamaah yang hanya belajar agama lewat Media Sosial.
Jihad Santri di Era Milenial
Mewarisi semangat dari para leluhur dalam memperjuangakan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, santri tetap diwajibkan untuk berjihad. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa jihad santri dahulu tentulah beda dengan santri di era milenial. Santri yang terkenal dengan kaum sarungan harus mampu menjawab tantangan di abad 21.
Di era millenial santri harus belajar literasi media. Di era 4.0 santri dituntut melek media, memiliki kemampuan membuat konten seperti video tentang kepesantrenan, yang barmuatan keagamaan, kebangsaan, serta infografis para kiai nusantara. Santri diwajibkan proxy war di media sosial untuk menghadapi berita-berita hoaks. Santri yang dipandang sebagai kelompok tradisionalis dengan momen hari santri harus bangkit dengan menunjukkan ajaran islam rahmatan lil alamin yang anti kekerasan, anti hoaks, menjaga tradisi dan kearifan lokal seperti tahlilal, dhiba’an, sekaten, sedekah laut dan lain sebagainya.
Santri yang tetap eksis menjaga budaya dan kearifan lokal, yang diakulturasikan dengan nilai-nilai agama islam wajib hukumnya mengamini Hubbul Wathon Minal Iman. Sehingga Cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman. Santri harus menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis: Moh Yajid Fauzi (Duta Damai Jawa Timur)