Dinamika perjalanan Haji sebelum menggunakan pesawat seperti sekarang ini ditempuh dengan berbagai cara. Cara-cara yang dilakukan oleh orang pada masa lalu menempuh dengan jalan kaki melewati hutan, gunung sungai dan menggunakan kapal laut. Waktu perjalanan pun tak secepat yang sekarang, dulu pergi Makkah memerlukan waktu berbulan-bulan untuk sampai ditujuan. Makkah merupakan kiblat Islam sehingga orang Indonesia meskipun terjal jalannya tetap dilalui.
Ada beberapa aspek tujuan dalam bepergian ke Makkah pada masa lalu selain menunaikan ibadah haji. Pertama berdagang, hubungan orang Nusantara dengan orang Timur Tengah sudah tercatat dalam kurun waktu yang lama, ramainya lalu lalang perjalan laut yang mempunyai tujuan haji dan berdagang terus berkembang sampai terusan Suez pada tahun 1869 dibuka. Sehingga mempersingkat perjalanan baik orang Arab ke Nusantara atapun orang Nusantara yang pergi ke Makkah.
Kedua, mencari ilmu. Tidak bisa dipungkiri keilmuan wawasan mengenai ke-Islaman awalnya memang berkembang di Timur Tengah. Berg dalam bukunya Orang-orang Arab di Nusantara mengatakan terkadang orang Arab di Nusantara menyekolahkan anaknya kembali ke Hadramaut. Artinya pendidikan di Timur Tengah ketika itu memang lebih maju, sehingga mereka menyekolahkan anaknya kembali ke asalnya. Bagamaimana dengan orang Nusantara yang pergi haji dan mencari ilmu disana? Terdapat Syekh Abdurrauf Singkel, KH. Hasyim As’ari, Kiai Ahmad Dahlan dan Mbah Kholil Bangkalan. Mereka menunaikan ibadah haji dan belajar mengenai Islam bertahun-tahun di Makkah sampai menjadi guru di Makkah dan kembali ke Nusantara untuk mengamalkan ilmunya.
Haji menjadi tujuan beribadah dan menyempurnakan iman serta ke-Islaman orang muslim. Setiap tahun orang muslim berbondong-bondong menuju Baitullah untuk beribadah kepada sang pencipta alam semesta. Tidak mengenal kaya atau miskin, jika Allah sudah memanggil seseorang untuk pergi haji maka ia akan berangkat. Sebenarnya pada masa kolonial Belanda gelar haji yang disematkan kepada orang yang telah bepergian haji merupakan cara untuk mengawasi pergerakan umat Islam dalam memahami konteks ke-Islaman. Karena pada waktu itu Islam melalui orang yang bepergian haji menjadi spirit tersendiri untuk melawan para penjajah. Sehingga Belanda memberi label haji sebelum nama aslinya seperti sekarang ini.
Ibadah haji tidak hanya mengenai ritual ketika di Makkah, namun juga setelah bepergian dari ibadah haji bagaimana seseorang menjadi individu yang lebih spiritual dan sosial kepada yang lainnya. Haji adalah adalah rukun Islam yang terakhir, sebelumnya orang muslim melakukan syahadat, shalat, puasa, zakat dan terakhir adalah haji. Haji berada diurutan terakhir karena haji merupakan ibadah yang memerlukan kesehatan jasmani dan rohani. Seseorang muslim pasca bepergian haji yang telah ditempa jasmani dan rohaninya diharapkan bisa menjadi cerminan bagi masyarakat sekitarnya.
Jihad Sosial
Jerih payah seseorang muslim untuk pergi haji tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangan menata niat sampai dengan menyiapkan finansial serta kesehatan dan menunggu antrian yang bertahun-tahun adalah ujian kesabaran bagi umat Islam yang ingin ibadah haji. Terkadang sudah sampai giliran berangkat ditunda karena beberapa kendala. Inilah jalur yang harus ditempuh dan dijalani. Jika seseorang sudah melakukan ibadah haji dengan mengaca bagaimana perjuangannya untuk berangkat menuju kota suci maka ia akan cenderung menjadi manusia yang sosial.
Ada peningkatan dari sebelum dan sesudah haji untuk menjadi manusia yang sosial. Seperti meningkatkan kepekaan terhadap tetangga yang sedang membutuhkan bantuan. Jika haji tersebut adalah seorang pejabat atau perangkat desa ia akan mensejahterakan masyarakatnya. Sehingga ada perbedaan kepekaan antara orang yang sudah melakukan ibadah haji dengan yang belum melakukan haji untuk membuka indra kepekaan guna menjaga kerukunan antar masyarakat dan antar pejabat satu dengan yang lainnya. Dengan begitu ibadah haji tidak hanya mendapatkan gelar haji, namun ibadah haji bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lainnya.
Jihad Keagamaan
Bepergian haji memberikan pengalaman spritual sendiri bagi orang yang melakukannya. Seseorang dibimbing melakukan ibadah haji di kota suci, ditempa spitualnya dengan aktivitas ritual haji. Dalam pelaksanaan haji Tuhan tidak melihat dari mana asal orang itu, apa jabatannya, karena disitu sama mengenakan pakaian ihrom yang menandakan bahwa yang menjadi pembeda adalah amal perbuatan setiap orang yang melakukan haji. Bahkan ketika dalam melakukan salah satu ritual haji, seseorang jamaah haji tidak boleh membunuh hewan seperti semut dan nyamuk. Orang haji benar-benar ditempa jiwa spiritualnya untuk menjadi manusia yang ronahi pasca ibadah haji.
Ibarat seorang anak belajar naik sepedah ia akan bisa naik sepedah dan menggunakannya dengan baik. Begitupun orang pergi haji yang ditempa spiritualnya sedemikian rupa diharapkan pasca pulang haji mampu memberikan pengaruh terhadap agama Islam. Seorang haji pulang dari Makkah bisa memberikan hasil dari pengalamannya untuk memahami kemajemukan dalam beragama di Indonesia. bersikap lebih bijak dalam mengambil wacana keagamaan dan mampu menularkan aspek spiritualnya melalui tingkah lakunya kepada yang orang lain disekitarnya. Haji bukan hanya sekedar melakukan rukun Islam ke lima, tetapi haji adalah ibadah untuk menjadi manusia yang utuh dihadapan Tuhan dan makhluk-Nya.
Penulis: Aris Lukman Hakim