Perkembangan dan Kemajuan sebuah bangsa bisa sangat mudah diamati, kenapa demikan? Secara empiris kita bisa melihat dan menilai menggunakan macam-macam parameter sejauh mana bangsa itu berkembang atau maju. Namun beda halnya jika pertanyaannya begini : Sampai kapan sebuah negara melaju diatas rel-rel perkembangan atau kemajuan?. Jawaban pertanyaan diatas tidaklah gampang. Analisis berdasarkan data dan fakta menjadi acuan utama dalam menjawab pertanyaan tersebut . Kita tidak boleh terlena dan lengah dengan perkembangan bangsa indonesia yang semakin menunjukan tanda-tanda menuju lebih baik. Mengantisipasi kelengahan dan keterlenaan generasi milenial, kita senantiasa di tuntut untuk selalu meneropong jangka panjang perkembangan bangsa indonesia, kemudian menyiapkan solusi atas kemelut yang akan dan sudah terjadi. Sebuah negara yang sekarang perkembanganya baik bahkan sudah maju dan makmur. Besar kemungkinan tidak bertahan lama. Jika tidak mempunyai perekat elemen bangsa berupa ideologi atau dasar negara.
Mari kita tengok sejenak kebelakang, siapa yang tak kenal negara Uni Soviet. Salah satu negara besar dan maju di benua Eropa yang dikategorikan sebagai negara adidaya dan maju dalam bidang apapun. Negarawan,politisi serta cendikiawan melimpah-ruah di negara tersebut. Tapi apa yang terjadi kemudian?.Tanggal 26 Desember tahun 1991 negara besar penguasa “Blok Timur” itu runtuh dan hancur. Kemudian terpecah menjadi beberapa negara-negara bagian yang tetap bertahan sampai sekarang. Banyak referensi tentang sebab-musabab hancurnya negara Uni-Sovet. Salah satu faktor pemicu ambruknya negara tersebut selain ketimpangan ekonomi dan reformasi presiden Gorbachev adalah tidak masifnya pelaksaan konsensus “ideologi” yang telah final dan disepakati bersama. Konflik etnis berkepanjangan antara Azerbeijan dan Armenia menjadi bagian dari cerita keruntuhanya.
Keadaan seperti di Uni Soviet hampir tiga dekade yang lalu bisa menular ke semua negara tanpa terkecuali Indonesia. Mengapa demikian? Karena kita negara bangsa, negara kepulauan yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Tanpa perekat ideologi yang meng”cover” semua elemen bangsa secara utuh,kokoh dan kuat, mustahil bangsa kita masih bertahan sampai sekarang.
Generasi milenial sesekali “wajib” menengok ke belakang. Mencari, memahami dan melaksanakan konsensus para founding fathers “ideologi” negara kesatuan republik Indonesia yaitu Pancasila. Memantik munculnya generasi milenial yang pancasilais 24 karat tentu bukan perkara mudah. Tidak cukup hanya menirukan lima sila ketika menjelang acara-acara resmi atau upacara-upacara diberbagai macam instansi negara.
Urgenitas Pancasila sebagai ideologi negara bersifat absolut dan mutlak. Dalam rangka merawat Pancasila, pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaralah yang harus sering dipupuk. Bukan hanya menyuarakan dengan lantang tapi nihil tindakan, melainkan pengamalan yang digaungkan. Generasi milenial sebagai garda terdepan penerus bangsa dan negara seyogyanya menjadi dongkrak yang senantiasa mampu mengangkat beban berat “tantangan dan ancaman” di masa depan.
Generasi milenial mempunyai tantangan berat guna menjadikan pancasila sebagai rujukan utama dalam pengambilan keputusan apapun yang sering di tunggangi oknum-oknum tertentu dan berorientasi kepentingan kelompok maupun individu. Berkaca dari apa yang menimpa negara Uni Soviet. Generasi milenial berkewajiban menggelorakan semangat pancasila ke berbagai praktek dan tindakan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila sebagai “Instrumen” Pemersatu Bangsa
Ada sebuah adagium yang cukup menarik bahwasanya “kebajikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. Karena pancasila merupakan hasil konsensus bersama para pendiri bangsa. Sudah sepatutnya generasi milenial melakukan perlawanan terhadap koloni-koloni gerakan separatis yang menghendaki perpecahan dan mengancam keutuhan bangsa. Banyak tragedi kekerasan dan kesewenang-wenangan terjadi selama perjalanan bangsa Indonesia, baik yang beraromakan ras,etnis,suku dan lainnya. Menjadi bahan evaluasi bersama mengingat tingkat keterpecah-belahan masyarakat kita masih tinggi. salah satu penyebabnya adalah masih terasa rendah komitmen setiap warga negara terhadap “value” Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa.
Pancasila sebagai ”Payung” Agama
Generasi milenial di era digital saat ini patut waspada serta siaga terhadap Anarkisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama dan aliran kepercayaan. Beberapa kali sikap-sikap seperti itu mengotori beranda bangunan megah negera kesatuan republik Indonesia. Oknum-oknum pelaku kekerasan berkedok topeng agama seperti ini perlu disadarkan. Pasalnya sudah sangat jelas tertuah dalam salah satu sila yang memeberikan hak memeluk agama apapun tanpa ada diskriminasi. Nilai-nilai agama yang seharusnya di resap oleh negara malah dijadikan dalil untuk membolehkan kekerasan dan penyerangan. Padahal semua agama mempunyai nilai-nilai kebajikan yang luhur untuk umat manusia bukan menciptakan huru-hara dimana-mana.
Pancasila sebagai “Pijakan” Kebijakan Ekonomi
Baru-baru ini. Salah satu negara di benua Amerika sedang dilanda keterpurukan ekonomi dan ancaman disintegrasi. Kedaulatan ekonomi merupakan salah satu bidang urgent dan rawan memicu pemberontakan. Negara Venezuela menjadi korban inflasi yang sangat “over”, sehingga berimbas terhadap kebutuhan logistik yang meningkat namun kurs nilai mata uang dalam negeri menurun drastis. Kita harus belajar banyak dari tragedi masa transisi orde baru menuju reformasi. Krisis moneter pada waktu itu sangat pelik sehingga mengancam bangsa Indonesia akan terpecah-belah dan terurai. Beberapa pulau berinisiaatif melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi lalu membuat negara baru. Ekonomi Pancasila menjadi acuan generasi milenial dalam menjaga kestabilan ekonomi menuju kemajuan ekonomi.
Pancasila sebagai “Pemantik” Semangat Kegotong-Royongan
Sebuah lirik lagu dari H Rhoma Irama yang berbunyi “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, begitu harusnya kita bekerja. Rambate rata hayo-rambate rata hayo,singsingkan lengan baju kalau kita mau maju”. Semangat gotong royong menjadi “icon” unik bangsa Indonesia di banding negara-negara lain. dari ribuan ras dan suku yang ada, dan dengan luas wilayah yang begitu besarnya. Rasa-rasanya mustahil mengakomodir semangat kegotong-royongan bila tidak didasari rasa nasionalisme yang tinggi. Wacana seperti terpapar diatas tidaklah berlebihan mengingat negara kita adalah negara kepulauan. Kiranya perlu bangsa Indonesia meng-upgrade kembali semangat ini, dengan menjadikan generasi milenial sebagai penggerak semangat gotong-royong di tengah-tengah pusaran digitalisasi zaman yang senantiasa menuntut masyarakat menuju individualis.
*Penulis: Ahmad Qomaruddin