Sejarah menunjukkan bahwa peradaban Islam memiliki tradisi intelektual yang kuat. Dalam diskusi antara Gita Wirjawan dan Prof. Ismail Fajrie Alatas di Endgame #202, banyak hal menarik yang bisa kita pelajari tentang bagaimana perdebatan dan koalisi ide membentuk peradaban.
Dalam sejarah Islam, perdebatan intelektual bukan sekadar ajang adu argumen, melainkan cara mencapai sintesis pemikiran yang lebih baik. Era Abbasiyah, misalnya, memperlihatkan keterbukaan luar biasa dalam menyerap ilmu dari berbagai peradaban. Baitul Hikmah menjadi simbol bagaimana Islam tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga mengembangkannya. Tidak ada ketakutan terhadap perbedaan, justru dari sanalah kemajuan lahir. Hal ini mirip dengan praktik ilmiah yang terjadi di Yunani Kuno dan Romawi, di mana filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang melalui debat terbuka.
Negara dalam peradaban Islam klasik tidak selalu mencampuri urusan teologis komunitasnya, memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk berkembang secara alami. Ini mengajarkan bahwa harmoni dalam masyarakat tidak datang dari kontrol berlebihan, melainkan dari ruang dialog yang terbuka. Sebagai contoh, di masa Kekhalifahan Abbasiyah, ilmuwan dari berbagai latar belakang seperti Yahudi, Kristen, dan Muslim bekerja sama dalam pusat-pusat keilmuan. Model seperti ini juga bisa ditemukan di zaman Renaissance Eropa, ketika kebangkitan ilmu pengetahuan terjadi karena kebebasan berpikir yang lebih luas.
Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah membangun narasi yang kuat di tengah arus informasi yang berlimpah. Generasi muda perlu mengasah keterampilan berpikir kritis dan mampu menyampaikan pesan damai dengan cara yang efektif. Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki budaya debat yang sehat cenderung lebih toleran dan inovatif. Di Singapura, misalnya, kebijakan negara dalam menjaga harmoni antaragama dilakukan dengan melibatkan komunitas dari berbagai keyakinan dalam pengambilan keputusan, memastikan bahwa narasi inklusivitas tetap kuat.
Dari sejarah kita belajar bahwa peradaban besar dibangun di atas fondasi diskusi, keterbukaan, dan penghargaan terhadap keberagaman. Indonesia sebagai negara multikultural harus terus menjaga warisan ini dengan menguatkan dialog lintas iman dan budaya. Perdamaian bukan sekadar ketiadaan konflik, tetapi bagaimana kita membangun ruang diskusi yang sehat dan produktif. Jika generasi muda mampu menghidupkan kembali semangat koalisi ide, masa depan dunia yang lebih damai bukan sekadar utopia.
Penulis: Ajeng Adinda Putri