Meski hasil pemilu telah resmi diumumkan oleh KPU pada 21 Mei 2019, dengan ditetapkannya Jokowi-Ma’ruf sebagai pasangan presiden terpilih. Persatuan yang diharapkan oleh bangsa pasca pemilu justru menampilkan polarisasi yang semakin kuat mengakar. Tidak hanya dikalangan pendukung, namun justru dari kalangan elit sekalipun tak memberikan teladan untuk segera diadakan rekonsiliasi antar kubu. Parahnya, tim BPN Prabowo-Sandi tidak mempercayai hasil pilpres yang telah ditetapkan oleh KPU dan mengajukan gugatan ke MK dengan tuduhan kecurangan dalam proses pilpres.
Tuduhan terhadap kecurangan selama proses pilpres, akhirnya ditindaklanjuti dengan dilangsungkannya Sidang MK terkait Sengketa Pilpres 2019. Tepat pada 24 Juni 2019, hasil sidang putusan MK diumumkan. Dengan berbagai bukti dan pengakuan saksi di persidangan. Maka, gugatan ditolak, dan ketetapan KPU terkait presiden Indonesia 2019-2024 adalah sudah benar dan sah. Namun, masih saja ada kalangan eliet, simpatisan Prabowo-Sandi yang tak mau menerima dan menyatakan tak perlu adanya rekonsiliasi antar kubu.
Kondisi ini tidak hanya miris di kehidupan nyata. Dunia maya yang sudah sejak awal memanas selama berlangsungnya kontestasi politik di tahun ini, cipta polarisasi yang cukup ekstrim. Tidak hanya mengunggulkan prestasi dari masing-masing kubu, simpatisan justru tak jarang menyebarkan aib kubu lawan, untuk menurukan interest pemilih. Bahkan yang cukup parah hingga munculnya animalisasi politik, Cebong dan Kampret kemudian menjadi viral di media sosial.
Media sosial adalah senjata paling berbahaya, bahkan mampu merusak persatuan suatu bangsa. Sedmakin berkurangnay netizen yang bijak, dan cenderung dikuasi oleh oknum-oknum yang berkepentingan, menjadikan media sosial khususnya di Indonesia berwajah sangat buruk. Hingga, menyebabkan politik media Indonesia tahun ini merupakan yang terburuk dari tahun-tahun sebelumnya.
Dunia maya, seharusnya dapat menjadi media pemersatu bangsa, sejak dari ranah virtual. Bertolak 180 derajat, media sosial justru menjadi bara yang mudah tersulut untuk membuat kondisi antar kubu semakin memanas. Cacian, ujaran kebencian, hingga diskriminasi antar kubu merambah hingga di dunia nyata. Kondisi ini tentu sangat mengancam bagi keutuhan bangsa. Pilpres yang menjadi ajang realisasi demokrasi bangsa dan mewujudkan sila keempat untuk tercapainya persatuan justru gagal bahkan memperburuk kondisi masyarakat.
Media sosial, menjadi medium polarisasi yang dampaknya sudah sangat terlihat untuk beberapa tahun kedepan. Jika kondisi ini dibiarkan begitu saja, tentu akan sangat mengerikan. Seperti memang sudah didesain adanya kuasa untuk mengendalikan media sosial terus menyebarkan hal-hal negatif. Sehingga, diperlukan banyak berbenah dari para pengguna sosial yang masih waras dan merindukan adanya keharmonisan di dunia maya dan dunia nyata tentunya, dengan adanya rekonsiliasi yang tak hanya menjadi isu hangat yang terus digaungkan di berbagai media.
Rekonsiliasi Holistik
Wacana rekonsiliasi nasional muncul guna menyeimbangin memanasnya kontestasi politik tahun ini. Namun sayang, rekonsiliasi seakan hanya menjadi topeng di kalangan eliet guna menutupi polarisasi yang kian menjadi bahkan setelah putusan MK diumumkan kepada publik. Hal ini sangat terlihat pada kalangan simpatisan dan pendukung yang memiliki fanatisme cukup tinggi, masih terus merasa tidak terima dengan putusan MK.
Memang diakui atau tidak rekonsiliasi mulai menjadi perbincangan dan harus disegerakan dikalangan pimpinan dan pejabat atas. Dengan saling menerima dan bersalaman sebagai tanda berlapang dada dan menerima siapa saja yang telah ditetapkan. Lobi-lobi politik dan administratif pun tak luput dilakukan, dan melupa pasangan siapa yang dulu dikampanyekan selama masa pemilu.
Berbeda dengan kalangan akar rumput (grass root). Pemilu memang sudah usai, hasil sudah diputuskan. Namun, dendam karena cacian dan justifikasi via media sosial membuat residu pemilu belum usai, masih membara. Linimasa sosial media tak mampu meredam polarisasi politik. Konflik ala linimasa akan mudah tersulut kembali, hanya menunggu waktu Jokowi atau Prabowo terpleset sedikit saja statementnya. Begitulah orang Indonesia, layaknya paribahasa ‘Karena nila setitik, rusak susu sebelanga’ sedikit saja kesalahan dari Jokowi atau Prabowo seketika menyeruak dengan mudah di media sosial.
Kondisi ini menyebabkan perlunya ada perhatian khusus untuk media sosial kita. Diperlukan adanya kerjasama dari berbagai disiplin keilmuan dan kalangan untuk mendesain platform media sosial yang memiliki algoritma antibias. Untuk menekan semakin parahnya perseteruan antar kubu di media sosial. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa media sosial seakan didesain oleh kuasa tertentu untuk mempropaganda dan menyebabkan persatuan bangsa terancam. Sehingga, sangat diperlukan adanya penjara algoritma linimasa dan post-truth.
Penjara algoritma linimasa ini merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan melalui media sosial untuk menciptakan rekonsiliasi holistik. Rekonsiliasi secara menyeluruh, tidak hanya dikalangan pimpinan dan elit politik saja. Selain itu juga setiap pribadi harus dengan legowo menerima dengan lapang dada siapa presiden terpilih yang sudah ditetapkan. Karena menolak seperti apapun, kita masih tetap tinggal di Indonesia, bukan?
Jadi untuk apa membenci bukankah jauh lebih membahagiakan jika kita kembali hidup secara harmoni dan tak hanya memikirkan politik saja dalam sehari-hari. Perlu juga adanya penghilangan stigma identitas yang berlebih, agar kita dapat saling mengisi, dan memberikan sumbangsih kepada siapa saja presiden terpilih, tanpa mengingat lagi siapa yang kita kampanyekan. Dengn adanya upaya melalui rekonsiliasi holistik ini, diharpakan mampu mewujudkan rekonsiliasi nasional bangsa demi terwujudnya persatuan Indonesia yang harmoni dan welas asih.
Wallahu’Alam
Penulis: Nuril Qomariyah