Budaya tutur merupakan kunci dalam menjalin kehidupan bermasyarakat, apalagi dengan adanya klaim bahwa Indonesia termasuk dalam salah satu negara dengan penduduk yang ramah. Hal ini juga harus didukung oleh sikap sopan santun dalam berperilaku. Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga di sosial media. Sopan santun bisa berupa tutur kata atau perbuatan. Namun, yang paling sering menjadi indikator adalah perkataan.
Dalam bertutur kata ada tiga kalimat penting yang menjadi dasar dalam berkomunikasi, yakni kata “maaf, tolong dan terima kasih”. kata tersebut memang terdengar sepele, tetapi memiliki dampak yang sangat besar saat diterapkan sejak dini. Hal tersebut bisa menjadi wujud toleransi dalam kehidupan bersosialisasi, mengingat adanya norma dan etika yang berkembang di masyarakat. Meskipun berawal dari tidak terbiasa bahkan terpaksa, akan berubah menjadi kebiasaan bahkan sebuah budaya yang menetap.
Begitu juga saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, hendaknya kita menggunakan tata krama dan terdengar sopan. Keterbukaan dalam berpikir memang penting, jangan sampai membuat kita menjadi pribadi yang tidak bernorma dengan dalih egaliter. Apalagi dengan orang yang baru kenal dan belum mengenal pribadi mereka secara lebih lanjut. Dimanapun lingkungan kita, baik didalam maupun diluar lingkungan keluarga, kita harus menjaga sikap dan bisa menempatkan diri. Mulai dari berbicara dengan sopan, berkata jujur, serta tidak menyela saat orang lain berbicara.
news.okezone.com Jokowi menyampaikan bahwa nilai kesantunan dan tata krama harus ditumbuhkan mengingat dalam sekian tahun kita kehilangan nilai-nilai tersebut. Apalagi nilai masyarakat Indonesia adalah keramahan bukan saling mencaci dan mencemooh. Budaya luar yang masuk dan berkembang bukan berarti bisa kita gunakan begitu juga, ada filter atau penyaringan tehadap budaya yang masuk.
Salah satu istilah yang bisa digunakan dalam menyeleksi budaya luar adalah local genius. Sebagai bentuk adaptasi dan penyesuaian terhadap budaya yang masuk dengan alat kearifan lokal. Proses adaptasi tersebut tidak harus sama sepenuhnya, namun kita bisa memilah mana yang sesuai dan bisa digunakan. Tata krama dalam perkataan salah satu contohnya, sebagai alat untuk memfilter budaya luar.
Budaya luar yang kian marak di masyarakat adalah nilai-nilai liberal, namun kita bisa menangkal hal tersebut dengan tiga perkataan mendasar tadi yakni “Maaf, tolong dan terima kasih”. Menyadarkan orang lain agar bertutur kata demikian juga tidak salah, asal dengan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung. Apalagi negara kita memiliki beragam suku dan budaya dengan latar belakang masing-masing.
Tutur kata akan semakin baik jika diiringi dengan perbuatan. Perbuatan baik dengan memperhatikan budaya yang berkembang, seperti sopan santun dan tidak mengharap imbalan. Tidak hanya dalam segi material, perbuatan baik juga bisa diwujudkan dalam non-material. Seperti: kegiatan dalam lingkungan masyarakat yang bersifat sukarela (volunteer).
Memikirkan orang lain memang penting dalam bertutur kata, alangkah baiknya jika kita juga berpikir akan dampak pada diri sendiri. Jika lingkungan kita berada dirasa tidak baik dalam segi perbuatan dan perkataan, lebih baik mengurangi intensitas dalam berkomunikasi atau bertemu secara langsung. Sehingga istilah “positive vibes” masih bisa kita dapatkan bahkan bisa kita munculkan pada diri sendiri.
Jika kita ingin mendapatkan lingkungan yang positif, jangan lupa untuk membentuk diri agar menjadi pribadi yang baik. Dengan tidak menjadi orang lain serta bisa menempatkan diri pada lingkungan yang memberikan dampak positif bagi diri sendiri. Memanusiakan manusia akan berlaku secara timbal balik jika kita berperilaku demikian.
Penulis : Dewi Ariyanti Soffi (Duta Damai Jawa Timur)