Belum lama ini, Dunia tulis-menulis di Indonesia kembali diramaikan dengan hadirnya buku karya Prof. Nadirsyah Hosen yang berjudul “Saring Sebelum Sharing”. Buku yang menurut saya sangat relevan mengingat era perkembangan teknologi dan informasi hari ini semakin tak terbendung. Saya tidak me-review atau meresensi buku karya salah satu cendekiawan yang akrab disapa Gis Nadir tersebut. Lebih dari itu saya ingin mengkampanyekan sekaligus membiasakan budaya saring sebelum Sharing dalam upaya mempromosikan persatuan dan kesatuan di dunia maya dan dunia nyata.
Serba-serbi canggihnya teknologi berimbas pada mudahnya mengakses informasi. Ini menghadirkan tantangan baru tidak hanya bagi masyarakat, tetapi secara luas tantangan dan ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Era yang sering kita sebut dengan “post-truth” telah menandai pergeseran sosial yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini di mana fakta berkontestasi dengan hoax dan kebohongan untuk dikonsumsi publik. Media mainstream tidak lagi menjadi rujukan utama, sementara media sosial menyeruak tampil sebagai alternatif pemberita. Ini mempunyai dampak positif dan juga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan masyarakat jika tidak pandai memilih dan memilah.
“Saring sebelum sharing” dalam upaya melawan berita bohong (hoax)
Berita bohong (hoax) merupakan upaya untuk mengelabuhi sebuah fakta. Upaya semacam ini sering menjadikan masyarakat salah dalam memahami dan menalar sebuah narasi pemberitaan. Contoh kasus berita bohong yang menjadi trending topik nasional adalah kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet. Kasus ini masih dalam proses aparat penegak hukum. Ratna Sarumpaet sempat diberitakan disiksa dan dianiaya oknum sehingga tubuhnya babak-belur. Setelah diusut ternyata politisi perempuan itu habis operasi penyedotan lemak sehingga tubuhnya seperti habis di pukuli.
“Saring sebelum sharing” mereduksi ujaran kebencian (hate speech)
Data mutaakhir dari POLRI periode Januari-Juni 2019 bahwasanya perkara tindak pidana ujaran kebencian yang ditangani mencapai 101 perkara. Grafik data diatas lebih besar dari tahun 2018 yang hanya mencapai 200-an lebih kasus hate speech. Urgensi “saring sebelum sharing” menjadi sangat perlu untuk digalakkan mengingat bahaya penyebarluasan ujaran kebencian. Terlepas pro dan kontra kasus yang menimpa vokalis Dewa 19 “Ahmad Dhani” menjadi pelajaran bagi kita semua betapa harus hati-hati dalam mengutarakan suatu kritikan di depan publik.
“Saring sebelum sharing” membendung arus pengutar-balikan fakta (Distorsi)
Distorsi merupakan pengutar-balikan fakta yang didesain sedemikian rupa sehingga menarik dan mudah dipercaya oleh publik. Contoh dari berita distortif adalah pasca perhelatan pesta demokrasi “PEMILU 2019” Bulan April kemarin membuat situasi dan kondisi politik Indonesia menjadi panas. Buntut dari ketidak-puasan hasil PEMILU tersebut ialah diadakanya aksi damai di depan Gedung BAWASLU pada tanggal 22 Mei. Namun pada malam harinya tanpa diduga-duga ada aksi yang membuat kondisi mencekam dan ricuh. Sebuah narasi dibangun bahwasanya pihak aparat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap masa aksi. Namun nyatanya tidak ditemukan bukti bahwa aparat melakukan tindakan tersebut.
Mengingat bahayanya, hoax, hate speech dan distorsi. Maka budaya “saring sebelum sharing” menjadi penting dikampanyekan sekaligus diimplementasikan sehingga persatuan dan kesatuan di dunia maya semakin erat dan kuat. Suasana kondusif,aman dan tentram tidak bisa kita beli dengan uang. Kesemuanya menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua sebagai warga negara yang baik guna menciptakan suasana yang baik juga. Filsuf besar Aristoteles pernah berkata bahwasanya manusia merupakan mahluk “zoon politicon”. Ungkapan tersebut memiliki arti makhluk yang segala aktifitasnya tergantung pada sesamanya. Menjadi bahan reflektif bersama mengingat pentingnya persatuan dan kesatuan di dunia maya sehingga bisa berimbas di dunia nyata.
Penulis: Ahmad Qomaruddin
Saya tertarik pada kalimat “hate speech dan distorsi”. Artinya apa ya kak