Apa yang terbesit di benak Anda tentang bom? Tentu banyak orang beranggapan bom adalah sesuatu yang menakutkan, kejam, sadis, teroris, kerjaan orang kimia. Seperti halnya kalau kalian ditanya, “Kuliah ambil jurusan apa?”, “Kimia Pak Lek,” “Oh, bikin bom ya.”
Begitulah anggapan banyak orang tentang bom. Karena memang itulah narasi tentang bom yang khalayak dapatkan dari media. Misalnya teroris itu melakukan aksi bom bunuh diri, bom yang dirakitnya dengan sejumlah bahan kimia jenis ini jenis itu.
Stereotipe tentang anak kimia yang sedang studi lanjut pasti disempitkan pada sekedar membuat bom. Wah, nanti kalau setelah selesai kuliah, bisa bikin bom ya. Asyik ya. pasti mahal itu bom kalau dibeli para teroris.
Aduh kanak. Gini amat. Jadi gini kisanak, memang bahan baku pembuatan bom itu dari cairan kimia, tapi belajar atau studi kimia itu tidak hanya diajari bikin bom saja. Bahkan secara praktik anak jurusan kimia murni tidak pernah diajarkan demikian, secara teoritis memang diajarkan. Terus apa saja yang dipelajari anak kimia?
Banyak, termasuk menerawang unsur-unsur yang ada dalam air yang kita minum, menghitung kandungan nasi, atau bahkan sampai pada berapa derajat air yang pas untuk menyeduh kopi. Sampai segitunya, kimia itu ilmu ikatan, ilmu reaksi, dan ilmu persalingan- kayak hubungan, saling mencintau atau tidak.
Kembali lagi, bicara tentang bom, kita semua, masyarakat Indonesia tentu masih ingat aksi teror bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya. Pengeboman Surabaya 2018 adalah rangkaian peristiwa meledaknya bom di berbagai tempat di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur pada 13–14 Mei 2018. Tiga tempat di antaranya tempat ibadah di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan.
Aksi itu dilakukan oleh sekeluarga, Ayah, Ibu, dan Anak. Dari berbagai info, Si Ayah yang bernama Dita itu memiliki pandangan islam yang ekstrim. Berdasarkan pengakuan Faiz (bbc), yang pernah berkawan dengannya sebagai kakak kelas, memang Dita ada kecenderungan ke situ. Pandangan keislamannya keras, sering mengikuti pengajian islam keras di sekolah, SMAN 5 Surabaya – melalui Rois (Kerohanian Islam). Hingga kemudian Dita juga diduga pernah studi di UNAIR.
Jihad buta yang dilakukan Dita sekeluarga ini mengorbankan banyak orang tak bersalah meninggal. Banyak tempat ibadah rusak. Bangunan sebelahnya pun menjadi korban.
Usut demi usut, fenomena teror akhir ini banyak melibatkan kalangan terdidik. Hal itu semakin diperkuat oleh Diego Gambetta dan Steffen Hertog dalam bukunya yang berjudul Para Perancang Jihad; Mengapa Kalangan Terdidik Banyak Terlibat Ekstrimisme dan Kekerasan? Buku yang diterjemahkan Gading Publishing itu memberikan informasi yang kuat dari beberapa negara.
Menurut Gambetta dan Hertog, “keterlibatan kalangan terdidik, terutama dari kalangan jurusan teknik dan eksakta lainnya itu ada. Umar Farouk Abdulmutallab (Nigeria), sarjana teknik mesin University College London yang gagal meledakkan pesawat jurusan Amsterdam, 2009. Muhamed Game (Libya), sarjana elektro yang meledakkan diri dengan dua kilogram nitrat di pintu masuk Caserma Santa Barbara, sebuah barak militer di Milan, 2009. Bekkay Harrach (Jerman-Maroko), mahasiswa teknologi laser dan matematika, yang merekam dan mengancam pemerintah Jerman dengan video jihadnya, 2009. Mohammad Atta (Mesir) dan Khalid Sheikh Mohammed (Kuwait), tokoh-tokoh utama peristiwa 9/11, keduanya belajar jurusan teknik tata kota di Hamburg dan mesin di Amerika Serikat. Selain itu, dari Indonesia, kita kenal Azahari Husin, perancang bom Bali, adalah ahli teknik dengan gelar PhD dari Universitas Reading, dosen di Universitas Teknik Malaysia.
Kenapa dari perancang jihad tersebut dari kalangan terdidik yang dikenal dengan cara pikir rasionalnya. Apakah ada gejala ekonomi. Tentu itu bisa dibantahkan dengan fakta lain. Misal saja, Abdul Subhan Qureshi, pemimpin Gerakan Mahasiswa Islam di India, yang diburu di India karena sejumlah serangan, termasuk serangan pada kereta api di Mumbai pada 11 Juli 2006, adalah pemegang sejumlah proyek independen besar, termasuk intranet bagi Bharat Petro-Chemicals yang dijalankan oleh Wipro pada tahun 1999. Gajinya sangat tinggi, dan ini merupakan kedudukan yang diimpikan banyak anak muda.
Selain itu, Abdulmutallab, adalah anak termuda dari enam belas anak Alhaji Umaru Mutallab, mantan pemimpin First Bank of Nigeria dan bekas Komisioner Federal Nigeria untuk Pembangunan Ekonomi, serta hidup di apartemen mewah di Marylebone sambil mengejar gelar sarjana teknik di London.
Banyak pemikir atau akademisi yang menilai hubungan antara kaum terdidik eksak dengan islam radikal sebatas kejanggalan saja, nyatanya tidak. Banyak dugaan empiris yang menguatkan fakta lapangan tersebut. Fakta bahwa kaum terdidik eksak banyak yang memiliki kecenderungan mengikuti gerakan ekstrim kanan, dan kaum terdidik sosial humaniora lebih pada mengikuti gerakan ekstrim kiri. Tentu itu bukan fakta tunggal.
Diego Gambetta dan Steffen Hertog mencoba memahami fenomena ini dengan mengumpulkan daftar 497 anggota kelompok Islam radikal di dunia Islam yang aktif sejak 1970an. Daftar itu hampir semuanya laki-laki karena alasan sederhana bahwa mayoritas ekstremis adalah laki-laki. Mereka mengambil dari berbagai sumber, termasuk dalam literatur akademis, menanyai kolega, media, melacak melalui dokumen-dokumen pemerintah, dan mengunjungi website organisasi radikal itu sendiri.
Menarik sekali data yang dipaparkan Gambetta dan Hertog. Kaum terdidik eksak di berbagai belahan dunia tercatat terlibat dalam aksi teror. Banyak dari kaum laki-laki. Sedangkan melihat fenomena bom Surabaya, di mana pelaku yang katanya dari kalangan terdidik salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia melakukan aksi bom bunuh diri- hingga melibatkan istri dan anaknya.
Gejala baru dalam skema terorisme akhir ini dapat menjadi kajian lanjut- atas keterlibatan perempuan dalam aksi langsung terorisme- melalui bom bunuh diri itu. Selain itu pula, kika ditarik dari anggapan lama ke anggapan baru mengenai kaum terdidik yang terlibat dalam terorisme ini telah meruntuhkan anggapan lama- bahwa aksi teror dilakukan oleh orang yang tidak berpendidikan atau bahkan miskin.
Kenapa dengan kaum terdidik? Berdasarkan temuan di lapangan, penulis melihat dari beberapa kampus sebagai produsen kaum terdidik itu. Ambillah kampus di Indonesia; negeri, swasta, dan islam. Berbagai riset dari lembaga pemerintah atau LSM mengatakan bahwa kampus negeri A-C memiliki indeks ekstrimisme yang tinggi, dan lain sebagainya.
Bahkan, belajar dari bom, anak kimia dan sajian data di atas. Penulis merasakan langsung bagaimana menjadi anak eksakta. Betapa rasanya dihakimi seorang dosen karena usai masuk gereja saat misa natal. Betapa kita dilempari omongan yang tidak pantas perihal keimanan saya.
Tidak hanya penulis, teman seperkopian dari jurusan kimia dengan notabane kampus islam juga didudukkan setelah ketahuan mereka melakukan kunjungan ke gereja. Bahkan tak jarang kita diceramahi soal ini itu, soal kemurtadan atau kekafiran yang menyeimuti seorang muslim yang masuk gereja. Ada pula yang gegara tidak hafal doa salat pun dikarenakan kebanyakan ke gereja- dan seterusnya- bukankah banyak faktor orang menjadi tidak hafal doa salat- bukan lantas karena sering masuk gereja atau tidak- bisa jadi grogi atau memang benar-benar tidak hafal sebelum ia sering masuk gereja.
Selain itu, pada jurusan teknik informatika, juga ada beberapa dosen yang secara langsung menyodorkan buletin islam radikal, yang sekarang dibubarkan. Para mahasiswa dicekoki dengan konsep khilafah. Bahkan, sampai melarang mahasiswanya ikut organisasi kemahasiswaan islam yang moderat.
Begitulah sekilas narasi kecil perihal bom, hingga kaum terdidik. Hingga pada puncak, akankah pikiran kita dikelabuhi dengan pikiran sempit tentang agama. Ataukah mungkin kita sebagai manusia lupa untuk terus menjalankan misi kemanusiaan. Kaum terdidik adalah harapan bangsa untuk terus mendampingi negeri ini merawat kemanusiaan.
Penulis: Al Muiz Liddinillah (Duta Damai Jawa Timur)