Peningkatan status penyebaran virus SARS-CoV-2yang mengakibatkan penyakit COVID-19 menjadi pandemi oleh WHO pada tanggal 11 maret lalu membuat seluruh masyarakat dunia harus bersiap-siap dalam menghadapi virus baru ini. mudahnya orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain menggunakan mode transportasi menghasilkan konsekuensi yang harus siap kita terima seperti status pandemi ini. Dahulu ketika mode transportasi belum masif dan juga media komunikasi masihterbatas, penularan sebuah wabah bisa dikatakan memiliki lingkup yang kecil.Tetapisaat inidengan mudahnya orang mengakses mode transportasi, wabah bisa dengan cepat menjadi pandemi akibat mobilitas manusia yang sangat cepat. Dari sebaran virus yang terdata, terlihat bahwa Eropa adalah salah satu kawasan yang memiliki nilai sebaran paling tinggi, padahal secara geografis memiliki jarak yang amat jauh dari daerah asal SARS-CoV-2 yakni di Wuhan, Tiongkok.
Status pandemi yang diterima SARS-CoV-2 terlihat karena mudahnya virus ini menyebar, meskipun dalam teorinya virus ini masuk dalam tubuh hanya melalui lubang mata, hidung dan mulut, tetapi kebiasaan jarang cuci tangan dan sering lali menempelkan tangan ke wajah membuat penyebaran ini berjalan cepat. Belum lagi terdapat kasus-kasus khusus seperti super-spreaderyang membuat satu orang bisa menular ke banyak orang membuat peningkatan penderita COVID-19 bertambahdengan cepat seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Malaysia. Sehingga beberapa langkah yang bisa kita upayakan dalam memutus rantai penyebaran ini tentu saja dengan sering mencuci tangan, tidak menyentuh wajah dengan tangan serta mengambil jarak antara satu orang dengan yang lain.
Karena sifatnya yang sudah menjadi pandemi, sehingga membuat siapa saja orang di dunia ini memiliki peran yang sama pentingnya, peran utama dari masyarakat dunia adalah gotong-royong memutus sebaran virus korona baru ini. Gerakan kolektif seluruh elemen masyarakat menjadi sangat berharga untuk hajat hidup banyak orang. Apalagi diketahui bahwa seorang tetap terlihat sehat padahal dia membawa virus membuat banyak orang lenggah. Hal ini sempat terjadi di Korea Selatan yang mana penyebaran virus banyak dikarenakan anak muda yang sehat membawa virus ini dan menular pada kelompok rentan.
Mental model yang perlu kita bawa dalam menghadapi virus ini bukan soal ketakutan kita terkena virus, tetapi peran kita untuk kebaikan dunia, sehingga fokusnya bukan hanya persoalan personal saja, tetapi berpandangan global, yakni untuk kebaikan dunia. Karena kalua kita hanya fokus pada urusan personal, bisa jadi hanya menjadi kegiatan yang sia-sia, kenapa? menurut data yang dilansir banyak sumber, sebenarnya tingkat mortalitas yang diakibatkan virus ini sebenarnya kecil, apalagi kasus kematian akibat virus juga jarang ditemui pada anak muda. Virus ini cukup berbahaya pada mereka yang sudah berusia dan yang telah membawa penyakit bawaan seperti diabetes atau serangan jantung. Sehingga bukan persoalan kita aman atau tidak, tapi persoalan menghentikan alur penyebaran virus agar tidak sampai menimpa orang-orang yang rentan dan kita sayang.
Fenomena super-spreaderyang terjadi di Korea Selatan harusnya menjadi contoh untuk kita, bahwa acara yang dihadiri banyak orang beresiko sangat besar pada penyebar luasan virus ini. Sehingga memang bijaksana ketika banyak penyelenggara acara di negeri ini yang punya inisiatif untuk menunda pagelaran yang akan dilangsungkan. Tujuannya tentu karena ingin memutus rantai penyebaran virus. Terlebih apa yang disuarakan oleh kumpulan ulama senior dari Al-Azhar yang mengatakan bahwa tidak wajib melaksanakan solat jum’at dalam kondisi seperti saat ini merupakan hal yang perlu kita terima, karena memang ini untuk tujuan yang lebih baik. Hal ini berpegang pada kaidah dar’u al-mafasit muqodamun ‘ala jalbi al-masalih(mencegah keburukan diutamakan dari pada meraih kebaikan).
Tidak ada yang mengatakan bahwa solat, diskusi dan pengajian adalah aktivitas yang buruk. Tetapi kegiatan baik itu apabila beresiko, tentu kita lebih utama menghindari resiko terlebih dahulu. Seperti halnya saat kita sarapan, eh tak sengaja adik kita jatuh di depan rumah, tentu kita harus bergegas menolong adik kita yang jatuh. Tidak ada yang mengatakan makan itu buruk, itu baik dan dianjurkan, tetapi kalau kita terus makan, bisa jadi luka yang ditanggung adik akan lebih buruk dan membuat keadaanya lebih parah.
Sehingga anjuran untuk solat di rumah dan tidak solat jumat bukanlah sebuah tindak melemahkan ajaran Islam, malah dari sini terlihat sekali sikap universalisme Islam, yang mana Islam menjaga harkat hidup siapapun.
Ada yang berkomentar bahwa kita tidak perlu takut pada virus, kita hanya perlu takut pada Allah, jadi kita tetap harus solat berjamaah. Padahal siapa juga yang takut pada korona, yang kita pikirkan adalah kebaikan besama. Pernyataan seperti itu mengindikasikan bahwa yang beropini tidak benar-benar paham tentang konsep universalisme Islam, yang mana Islam sangat menghargai kehidupan. Nampaknya ia juga tidak pernah mendengar kisah rasul yang marah kepada sahabat karena memberikan keputusan yang tidak ia kuasai. Keputusan yang berakibat fatal berupa kematian sahabat Rasul yang lain. Kisah itu mengindikasikan bahwa Islam sangat menghargai hidup seseorang dan juga tidak mengharapkan sebuah pendapat dan usulan dari mereka yang tidak berilmu yang akan berakibat sesuatu yang buruk.
Dari sini jelas bahwa kita tidak solat berjamaah bukanlah anti Islam dan kontra gotong royong. Malahan tindakan seperti ini menunjukan rasa solidaritas kita sebagai umat manusia yang bersama-sama menghadapi virus korona baru. Gotong royong tentu tidak melulu berarti aktif, semisal gotong royong membangun balai desa dan membersihkan gorong-gorong RT. Gotong royong juga bisa berarti pasif, seperti yang pernah dilakukan Ghandi bersama murit-muritnya yang melawan tanpa perlawanan, dan itulah yang hendak kita lakukan saat ini, yakni kita gotong royong diam di rumah untuk memotong rantai penyebaran virus.
Kalua dipikir-pikir, memang penyebaran virus ini serupa meskipun tak sama dengan penyebaran HoAX yang sering kita hadapi di era digitan ini. Yang mana virus ini merambat dari satu orang ke orang lain dengan sangat cepat dan meracuni hamper semua orang yang bersinggungan. Saat melawan korona, kita bisa melakukan dengan membekali diri dengan pengetahuan yang cukup dan membuat kita cakap untuk membedakan mana yang fakta dan yang mitos, sehingga tidak membuat masyarakat semakin kalang kabut, dan tentu memutus aliran penyebaran virus. Persis seperti kita melawan HoAX untuk isu apapun, 2 hal yang perlu disiapkan adalah pengetahuan dalam mencerna setiap informasi yang kita terima, selanjutnaya kita menjadi pemotong aliran informasi HoAX tersebut. Social distancinguntuk korona membuat semakin sedikit orang yang mengidap COVID-19 dan pemotongan informasi HoAX membuat hidup kita sejahtera tanpa bumbu permusuhan pada kelompok lain.
Mari Bersama-basa mensukseskan pemotongan sebaran virus SARS-CoV-2 dan semoga wabah ini segera selesai. Amin.
Penulis: M. Bakhru Thohir (Duta Damai Jawa Timur dan Aktivis Gusdurian)