Baru-baru ini, saudara-saudara kita di propinsi Papua menjadi korban dari pada rasisme. Bermula dari demo AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) di kota Malang yang berakhir sedikit ricuh. Tuduhan pembakaran bendera merah putih di kota Surabaya yang masih simpang siur siapa pelakunya, hingga sebutan nama binatang yang di gunakan untuk menggambarkan rakyat Papua seakan menjadi pemantik munculnya aksi protes keras dari masyarakat Papua.
Hal itu diperparah dengan munculnya ejekan “monyet” untuk masyarakat Papua, ini menyebabkan kegaduhan luar biasa, seakan masyarakat Indonesia berperadaban sangat rendah, sehingga ejejan yang demikian di gunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dalam misi memperkeruh suasana.
Era keterbukaan teknologi semakin memudahkan siapa saja untuk mengakses informasi dengan cepat, namun ada yang seyogyanya dipahami bahwasanya perlu adanya penyaringan “filtrasi” berita, informasi dan asumsi-asumsi para pengguna media sosial. Ini bertujuan agar kita tidak mudah percaya kemudian dengan mudah menyebarkan “sharing” ke khalayak umum sebelum di ketahui benar apa tidak nya informasi tersebut.
Algoritma media sosial merupakan sistem yang menghubungkan akun-akun pengguna dengan pengguna lainnya. Jika kita mengikuti “follow” suatu akun, maka akan muncul akun lainnya dari yang kita ikuti, dan begitu seterusnya. Menjadi kabar baik manakala kita mengikuti akun-akun yang moderat dan toleran dalam memberikan informasi/gagasan. Berubah menjadi kabar buruk bilamana guyuran rasisme yang begitu deras, apabila kita mengikuti akun-akun yang sarat akan rasisme dan intoleran.
Penyaringan dan pencegahan sejak dini
Pengguna media sosial harus bijak memilih dan memilah, berusaha menghindari macam-macam website dan akun yang sudah jelas di larang pemerintah seperti ISIS, HTI dan afiliasinya, serta akun yang sering berujar kebencian. Selain itu harus segera melakukan identifikasi dan klarifikasi jika menerima berita dan informasi yang belum jelas sumbernya dengan membandingkan dengan akun-akun yang sudah di bawah pengawasan pemerintah.
Berita dan informasi yang terkesan provokatif dan mengintimidasi jangan sampai di sebar luaskan. Pengguna media sosial tidak semuanya paham betul perihal narasi, wacana dan apa kepentingan di baliknya. Untuk itu langkah filtrasi dan preventif harus selalu di dahulukan, sebelum kemudian di sebarluaskan untuk tujuan tertentu seperti edukasi, seminar dan lainnya.
Meng “counter” narasi dan wacana rasisme
Pasca melakukan filtrasi dan preventif, upaya melawan narasi dan wacana rasisme menjadi urgen. Rasisme ada bukan semata-mata karena rasa kebencian atau ketidaksukaan, lain dari pada itu terselip pula kepentingan-kepentingan. Menanggulangi masalah semacam ini tergantung pada konteksnya, misalnya dengan Membuat Kontra narasi dan wacana serta perang tagar.
Membuat kontra narasi dan wacana dalam rangka menetralisir informasi atau berita yang terlanjur di konsumsi khalayak, sehingga tidak menjadi doktrin,dogma.
Perang tagar menjadikan rating narasi dan wacana menjadi top trending. Hal ini perlu di lakukan dalam usaha mengimbangi tagar narasi dan wacana rasisme agar memberi perbandingan.
Membuat konten kreatif dan inovatifAda banyak sekali komunitas yang bergerak dibidang kemanusiaan dan keberagaman seperti Gusdurian, FKUB (Forum Komunikasi Antar Umat Beragama), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan lainnya yang kesemuanya tetap aktif dan kreatif dalam membuat konten-konten tentang keberagaman dan kemanusian seperti gerakan nge “tweet” bareng dengan tagar tertentu secara serentak, mendesain meme lucu dan membuat video tentang keberagaman.
Penulis: Ahmad Qomaruddin