Kabar buruk lagi-lagi menimpa dunia pendidikan kita, di mana sebuah sekolah negeri di Bantul, Yogyakarta, salah satu gurunya memaksakan muridnya mengenakan jilbab. Karena paksaan itulah seorang murid yang dipaksakan memakai jilbab tersebut mengalami depresi. Hal itu membuat heboh jagat media sosial dan pendidikan kita.
Beberapa orang bertanya-tanya, “Kok bisa ya di sekolah negeri ada paksaan memakai jilbab,” serta pertanyaan kritis lainnya. Mau diakui atau tidak, fenomena tersebut bisa jadi tidak hanya terjadi di satu sekolah, mungkin itu juga terjadi di sekolah lain. Bahkan, bukan hanya paksaan mengenakan jilbab, tapi paksaan untuk melepas jilbab juga tak ayal terjadi di beberapa sekolah.
Sebenarnya, sejauh mana urgensi memakai atau tidak mengenakan jilbab buat murid atau guru di sekolah? Seberapa pengaruhnya jilbab itu dalam proses pembelajaran? Akankah memengaruhi kualitas pendidikan, atau akreditasi sekolah?
Paksaan-paksaan mengunakan atribusi keagamaan merupakan praktik intoleransi yang fundamental. Dari sanalah asal mula bahaya radikalisme terorisme merasuk pada diri anak atau murid. Dari sanalah pendidikan mudah terpapar dengan fundamentalisme keagamaan.
Persoalan akar intoleransi di sekolah seperti halnya yang pernah saya tuliskan pada opini sebelumnya ialah sistem pendidikan, ideologi guru, dan orang tua. Ketiga sumber itu menjadi boomerang bagi proses pendidikan toleransi di sekolah. Oleh karena itulah penting sekali sebuah praktik-praktik baik, sederhana, ringan, tapi mampu memberikan semangat keberagaman atau toleransi di sekolah. Apa sajakah itu?
Penulis menelaah ada beberapa praktik baik yang bisa ditanamkan di sekolah dengan sederhana, kontinyu, dan penuh suka cita. Adapun tiga praktik baik itu ialah membagi murid secara beragam ke dalam suatu kelas, memberikan salam lintas agama, memberikan kebebasan beragama kepada siapapun yang di sekolah.
Kalau bisa dideskripsikan secara detail. Pertama, pembagian kelas yang adil keberagaman. Praktik nomer satu ini sangat anti mainstream dan jarang dilakukan di sekolah-sekolah negeri atau swasta, yang sering dilakukan sekolah adalah membagi atau mengklasifikasi murid berdasarkan potensi akademiknya. Gampangnya, yang pintar akademik bergabung dengan yang pintar, begitupun sebaliknya.
Jikalau pembagian kelas standarnya seperti itu, saya yakin pendidikan di negeri ini akan sulit berkembang apalagi maju. Karena apa, karena belum tentu yang memiliki potensi akademik lebih memiliki potensi non akademik yang menonjol. Jadi istilahnya pembagian kelas berlandaskan potensi akademik mendeskriditkan murid dari pengalaman lain yang dimiliki temannya dalam bidang non akademik atau lainnya.
Pembagian kelas yang cukup visioner, apalagi sekarang kabarnya kurikulum merdeka, maka pembagiannya bisa berdasarkan keberagaman agama. Jadi satu kelas bisa diisi oleh murid-murid yang beragam agamanya dengan potensi akademik atau non akademik yang berbeda, atau guru pendidiknya juga beragam. Sehingga keberagaman pengetahuannya pun akan berkembang.
Kedua, guru mengutarakan salam lintas agama kepada murid. Pengenalan dan pemberian salam yang beragam itu akan menanamkan rasa toleransi kepada murid. Terlebih salam-salam itu disemarakkan setiap guru memasuki ruang kelas. Sehingga, tidak ada istilah agama mayoritas di situ, meski dalam satu kelas jumlah murid muslim lebih banyak, misalnya.
Apa faedah dari mempraktikkan salam dari beragam agama? Faedahnya sangat jelas, mengenalkan keberagaman, melatih toleransi dari sapaan salam, saling mendoakan satu sama lain. Dan yang tidak kalah penting adalah, pada praktik itu mengajarkan kepada murid untuk tidak saling mendeskriminasi atau merundung satu sama lain karena beda agama, beda pendapat, atau perbedaan lainnya.
Terakhir, sekolah menjamin dan melindungi kebebasan beragama civitasnya. Kebebasan beragama gurunya, tukang kebunnya, atau murid-muridnya. Dalam bentuk seperti apa? Sederhananya ya dalam bentuk membiarkan mereka berekspresi sesuai agama yang diyakininya.
Selain itu, sekolah juga wajib menjamin hak beribadah kepada semua civitasnya. Misal saja, jika ada murid yang mau izin untuk melakukan sholat, silakan saja. Kalau ada murid yang mau pergi ke gereja ya silakan saja. Bahkan, libur hari raya agama-agama bisa dijadikan refleksi setiap civitas untuk saling bersilaturrahim dan berbahagia.
Demikianlah tiga praktik sederhana yang bisa memicu rasa toleransi murid, guru, atau bahkan tukang kebun sekalipun. Prakik-praktik kecil itu baik jika berkelanjutkan serta diterapkan. Karena, toleransi dan perdamaian akan bisa dihayati dengan pengamalan-pengamalan yang saling menghormati dan memanusiakan satu sama lain.
Penulis : Al Muiz Liddinillah