Sumber gambar : Merdeka.com
Penulis : Musyarrafah
Maraknya konflik maupun tindak kekerasan yang melanda Indonesia, menuntut kontribusi berbagai macam pendekatan resolusi konflik untuk dijadikan rujukan agar tercapainya perdamaian sejati. Ketika pendekatan legal-formal dari pemerintah melalui aparat keamanan dianggap cenderung lebih represif. Perlunya resolusi alternatif yang mampu berdialektika dengan struktur sosial guna mewujudkan tatanan yang madani. Salah satu alternatif resolusi konflik yang potensial adalah kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal merupakan bentuk kebijaksanaan yang dari pengalaman hidup secara jangka panjang pada sistem sosial-budaya masing-masing, yang menjelma dalam bentuk peribahasa, pesan-pesan, prosa, puisi, dan lainnya.
Setiap sistem sosial budaya lokal di Indonesia memiliki butir-butir kearifan lokal yang era saat ini dapat diberi fasilitas dalam mengelola konflik tindakan kekerasan. Seperti apa yang dibahasakan oleh Hamengkubuwono XII, bahwa setiap budaya punya sisi baik dan buruknya. Memadukan yang baik, menjadikannya sebagai sintesis baru adalah cara yang bijak, daripada menolaknya semena-mena. Filosofi yang baik adalah tidak merasa superior dengan budaya sendiri dan memosisikan budaya lain sebagai inferior. Beranilah belajar dari budaya orang lain dan memahaminya sebagai khazanah kekayaan budaya Indonesia. Filosifi ini penting bagi masa depan kebudayaan Indonesia di dunia global yang multikultural. Kita belajar banyak hal positif dari keberagamanan manusia, agama, dan suku bangsa. Tradisi dapat melahirkan keyakinan akan mungkinnya “kolaborasi kemanusiaan” antara dua atau lebih manusia, agama, dan suku bangsa, misalnya lakon-lakon wayang sekaligus dengan wayangnya. Tanpa ruh pluralisme yang dibentuk, tak mungkin wayang sekarang diakui sebagai World Heritage.
Cerita pewayangan secara filosofis melambangkan bagaimana manusia mendapatkan kedamaian dalam hidupnya. Mulai dari nilai-nilai perdamaian, baik secara teoritis dan praktis tentang bagaimana manusia seyogyanya menjalani perjalanan hidup lahir-batin guna menemukan identitas dirinya (mikrokosmos) dan pencarian asal dan tujuan hidup manusia/sangkan paraning dumadi. Dua jalan menuju kedamaian hidup yang terkandung dalam cerita pewayangan sesuai dengan ajaran tasawuf, melalui empat tahap, yaitu syariat (sembah raga), tarekat (sembah cipta), hakikat (sembah jiwa), dan makrifat (sembah rasa). Nilai tersebut kompatibel dengan potensi manusia yang memiliki pranata imanensi dan transendensi dalam upaya untuk menjaga kehidupannya. Nilai perdamaian sufistik kisah pewayangan paralel dengan paradigma ilmu sosiologi pada penekanan sisi fakta sosial dalam mewujudkan kedamaian hidup yang lebih menekankan imanensi sisi makro atau mikro kehidupan sosial manusia.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pewayangan dengan segala produknya dapat dijadikan sebagai sebuah paradigma untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan hidup masyarakat Indonesia yang heterogen. Dalam dunia liku wayang, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia dengan mengisi ajaran-ajaran sufistik menggantikan ajaran Hindu-Budha. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan dan mengislamkan wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian, yaitu Wayang Kulit Jawa Timur, Wayang Wong atau Wayang orang di Jawa Tengah, dan wayang Golek di Jawa Barat. Hal yang menarik dan patut ditekankan dari kiprah para Walisongo adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang, tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang mulai memudar pengaruhnya. Tata nilai perdamaian sufistik telah terbukti berhasil dan mampu diterapkan dalam menciptakan perdamaian. Di Indonesia, kaum da’I sufi Islam yang pertama kali menyebarkan dakwah Islam, dengan bersenjatakan kearifan lokal cerita pewayangan, yang telah berhasil dengan nyaris sangat sempurna mengislamkan masyarakat Indonesia dengan penuh kedamain. Uniknya, kolonialisme agama dan peradaban tersebut berlangsung dengan nirkekerasan dan nir-chaos yang timbul di masyarakat. Sumbangan kearifan lokal Jawa dalam bentuk pewayangan bukanlah sekadar pepatah demi etika Jawa. Pernyataan ini mengungkapkan keyakinan kosmistis Jawa. Ketika jenuh menjalani hidup secara legal-formal, jalan yang bijak adalah menyelam ke danau kebudayaan. Di sana airnya jernih, sejernih Sang Kudus, sebiru Nirmala Yang Maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya “air kebudayaan” itu, pendekatan kultural seharusnya menjadi aras utama upaya solusi konflik sosial, agar tidak meluas menjadi kekerasan kolektif tanpa hati. Pendeketan kultural pada hakikatnya adalah mediasi kemanusiaan yang bersumber dari hati nurani guna tercapainya perdamaian yang berkelanjutan.