Tulisan ini merupakan review dari buku yang berjudul “Menjadi Tjamboek Berdoeri: Memoar Kwee Thiam Tjing”. Awalnya menjelaskan mengenai keadaan yang terjadi pada abad kegelapan saat wabah hitam melanda area Eropa, bukan hanya konflik yang melanda tetapi penghapusan terhadap kelompok Yahudi juga terjadi secara besar-besaran, hal itu dikarenakan oleh keinginan untuk melakuan balas dendam akibat perbuatan yang telah dilakukan oleh kelompok Yahudi.
Hancurnya diferensiasi sosial yang melahirkan uniformitas, bukan berasal dari dalam individu melainkan datang dari luar. Penulis berpendapat bahwa peristiwa tersebut pada umumnya terjadi pada etnis atau agama minoritas. Ia juga merefleksikan dengan kejadian di Indonesia sekitar politioneele actie tahun 1947 saat pemurnian terhadap etnis Cina terjadi secara besar-besaran di Kota Malang dengan lokasi bekas Pabrik Mie Mergosono atau tempat yang tidak diketahui khalayak umum, catatan ini ditulis oleh Kwee Thiam Tjing, yang terjadi akibat adanya provokator dari golongan Djamino dan Djoliteng. Penulis menyandingkan peristiwa ini Toeri Girard bahwa semua institusi, termasuk institusi kekuasaan pemerintah, menjadi lumpuh, begitu kekerasan pecah dalam masa krisis.
Adanya kecemburuan sosial terhadap etnis Cina akibat kepemilikan harta atau material semakin mendukung kerusuhan ini, sikap siasat atau strategi dalam keuangan menjadikan masyarakat etnis tersebut dapat bertahan hidup meski dalam masa krisis, berbeda dengan masyarakat Jawa yang kurang menyiasati dan cenderung loyal.
Artikel ini menjelaskan secara rinci bagaimana peristiwa itu terjadi, meski menggunakan transkrip ejaan lama sebagai korban dari krisis yang ada di Indonesia, sehingga bayang-bayang ketakutan terus menghantui mereka, padahal meskipun turut membantu berdirinya bangsa Indonesia, terutama saat memperjuangkan kemerdekaan.
Sayangnya dalam buku ini tidak dijelaskan mengenai alasan sejarah kebencian terhadap etnis Cina di Indonesia, sehingga artikel ini menampilkan kesedihan yang diderita oleh etnis Cina saat mereka dianggap sebagai penyebab kegagalan atau krisis saat melihat sektor ekonomi Indonesia didominasi oleh mereka. Stereotipe yang muncul dari peristiwa semacam ini menurut Girard adalah krisis distingsi atau hancurnya diferensiasi sosial yang melahirkan uniformitas kekerasan, krisis distingsi yang melahirkan kambing hitam sebagai penyebab dari krisis yang mereka alami, serta kelompok kambing hitam tersebut merupakan seorang korban.
Representasi kesedihan Putri Cina tergambar dari lukisan Ibu dari Raden Patah sebagai seseorang yang berketurunan etnis Tionghoa, kesedihan tersebut terjadi akibat keturunannya nanti akan menjadi kambing hitam dari konflik yang melanda negeri ini. Penulis juga memberikan sedikit narasi mengenai perjalanan hidupnya, bagaimana ia dapat bertahan sebagai keturunan etnis Cina ditengah kebencian masyarakat dan pergolakan batin yang ia rasakan, terutama saat ia lahir dan berkembang di Tanah Jawa. Begitu juga dalam menyambut Hari Toleransi, sebagai umat manusia yang hidup pada negara multikultur mewajibkan kita untuk terus memanusiakan manusia, dengan memiliki pemikiran yang terbuka. Melalui sikap saling menghargai satu sama lain dan tentunya menghapus batas-batas kultural saat berada pada lingkungan sosial. Berbudaya dan berkarakter adalah fondasi yang harus dimiliki tetapi semua itu tak lantas membuat kita menjadi inklusif dan tertutup.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi
Sumber gambar: tempo.co