Oleh: Yusril Ihza M.
Metaverse, mungkin terlalu dini membahas dunia digital yang bakal eksis di Indonesia sekitar 10 atau 15 tahun lagi. Metaverse sendiri bagi beberapa orang terdengar sangat asing. Dunia digital yang memungkinkan penggunanya merasakan kehidupan layaknya di dunia nyata seakan tidak mungkin terjadi bila kita bayangkan pada 20 tahun yang lalu. Sekarang, dengan kehadiran VR (Virtual Reality) tidak menutup kemungkinan dunia virtual itu akan terwujud.
Seperti Film Player One dan anime Sword Art Online, metaverse memungkinkan penggunanya berinteraksi dengan pengguna lain yang secara fisik tidak berada dalam satu ruang bersama. Layaknya game MMORPG (massively multiplayer online role-playing game) dalam anime Sword Art Online, para pengguna dapat melakukan pertarungan bersenjata tajam maupun senjata api tanpa khawatir melukai tubuh asli mereka, sehingga dengan ini metaverse menjadi ruang yang sangat cocok untuk melakukan latihan menembak, berperang, strategi bagi tentara hingga teroris.
Metaverse
Tahun 1992, Neal Stephenson pada novelnya yang berjudul Snow Crash sempat menyinggung konsep metaverse. Mengutip novel tersebut, konsep itu “tidak benar-benar ada. Namun, saat ini, jutaan orang melangkah, menjelajah, dan beraktivitas di dalamnya menggunakan komputer ataupun mesin yang cukup kuat.” Sejak Neal Stephenson menulis konsep tersebut, banyak ilmuan dan pebisnis visioner yang berusaha mewujudkannya.
Sejak konsep metaverse yang diperkenalkan Neal Sephenson, bukan The Sims, Ragnarok, Genshin Impact, atau Fortnite yang dapat mewujudkan itu, melainkan Roblox.
Roblox ciptaan Erik Cassel dan David Baszucki berhasil menciptakan gagasan terbaru video gim dengan mewujudkan bentuk fisik manusia dalam sebuah avatar serta memasukkan kegiatan layaknya di dunia nyata seperti berinteraksi sosial, bertransaksi, berjelajah, menghadiri konser, dan sebagainya.
Melihat kesuksesan Erik Cassel dan David Baszucki dalam mengembangkan Roblox, Mark Zuckerberg melihat peluang bagus untuk mempertahankan sosial media ciptaanya agar tidak bernasib sama dengan Friendster dan MySpace. Bagi Mark Zuckerberg “metaverse merupakan evolusi berikutnya dari jaringan sosial. Tempat di mana orang-orang dari seluruh dunia berkumpul untuk bersosialiasi, belajar, berkolaborasi, bermain dengan cara yang melampaui apa yang mungkin dapat dilakukan saat ini.”
Secara sederhana metaverse menjadi miniatur kehidupan bumi dalam bentuk digital. Apa pun yang bisa dan tidak bisa kita lakukan di dunia nyata akan bisa kita lakukan di metaverse. Mimpi itulah yang ingin diwujudkan oleh Mark Zuckerberg.
Kesempatan Mark Zuckerberg tersebut didukung dengan keberhasilannya mengambil alih Oculus, sebuah perusahaan pengembang perangkat gim virtual reality (sebuah perangkat yang dapat membuat pengguna berinteraksi dengan lingkungan hasil simulasi komputer) pada tahun 2012, dengan uang sejumlah $2 Miliar serta bonus $700 juta bagi pendirinya, Palmer Luckey dan John Carmack. Bersama Oculus, Meta sedang mengembangkan metaverse yang nantinya menjadi bentuk dunia lain bagi manusia dalam beraktivitas.
Zona Latihan Terorisme
Metaverse dengan semua kelebihannya memungkinkan penggunanya melakukan apa saja, selain itu perwujudan dari metaverse sendiri nantinya tidak sebatas menjadi ruang berinteraksi sosial saja. Selain perusahaan Meta yang dibawahi langsung oleh Mark Zuckerberg, banyak perusahaan developer gim sedang mengembangkan metaverse ini. Sebagai perwujudan dari film Player One dan anime Sword Art Online, tidak menutup kemungkinan gim seperti PUBG, Valorant, hingga Ragnarok hadir dalam kemasan metaverse yang berkolaborasi dengan VR.
Bagi pembaca yang belum menonton film Player One dan anime Sword Art Online, alangkah baiknya setelah membaca tulisan saya mulai menonton keduanya. Setidaknya apa yang saya tuliskan di sini bisa anda visualisasikan melalui film dan anime tersebut.
Sedikit saya jelaskan, film Player One dan anime Sword Art Online merupakan salah satu dari sekian film atau animasi yang berhasil memvisualisasikan dunia digital yang sedang dikembangkan hari ini. Keduanya memperlihatkan bagaimana manusia secara fisik berhasil ditransfer dalam bentuk avatar sehingga dapat berinteraksi dengan pengguna yang berada di seluruh dunia.
Pada film Player One dan anime Sword Art Online kita disuguhkan sebuah dunia digital yang memungkinkan penggunanya melakukan interaksi sosial, bertransaksi, hingga pertarungan fisik bersenjata tanpa khawatir tubuh asli pengguna tersebut merasa kesakitan.
Lingkungan seperti itu sangat ideal bagi siapa saja untuk melakukan latihan menembak, menggunakan senjata tajam, atau pun bela diri tanpa senjata. Sehingga mereka dapat merasakan sensasi peperangan seperti di dunia nyata.
Positifnya, hal ini sangat bermanfaat bagi Aparatur Sipil Negara, terutama Tentara Nasional Indonesia dan polisi untuk mengembangkan kemampuan sekaligus melakukan simulasi menghadapi kondisi pertempuran dengan nyata.
Di sisi lain, juga menjadi kesempatan bagi siapa saja untuk merasakan sensasi pertempuran secara nyata. Anak berusia di bawah 12 tahun yang hari ini sudah menikmati permainan survival shooter seperti Free Fire dan PUBG mengenal secara langsung sensasi memegang senjata api seperti AK-47 atau bahkan granat.
Ketika anak berusia 12 tahun saja sudah dapat merasakan sensasi tersebut secara nyata, apalagi para teroris yang hari ini masih berlatih secara sembunyi-sembunyi di tengah hutan atau bahkan di pegunungan? Dunia digital menjadi surga bagi mereka untuk berlatih senjata api hingga merakit bom. Bahkan, tanpa ketahuan siapa identitas mereka dan di mana markas fisik mereka. Oleh sebab itu, metaverse juga menjadi ancaman bagi kita karena kebebasan beraktivitas di sana. SDM masyarakat Indonesia setidaknya harus bersiap akan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari hadirnya metaverse di sekitar kita. Selain itu pemerintah juga perlu memikirkan cara untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.