“Ikut ajalah, gitu aja gak mau ikut.” ajakan seperti ini yang sering tidak bisa ditolak oleh sebagian besar orang, khususnya budaya tidak enak hati untuk menolak. Hal ini menjadi dilematis ketika dibenturkan dengan batasan dari masing-masing manusia.
Akan memilih diantara dua kemungkinanan. Pertama, menerima ajakan degan perasaan yang tidak nyaman sehingga membohongi diri sendiri dengan memasang wajah yang lain. Kedua, tidak menerima ajakan nantinya akan menimbulkan pembulyan terhadap keputusan yang diambil.
Seharinya setiap personal individu masing-masing terkait toleransi dan batasan toleransi orang lain. Secara tidak langsung kejadian diatas akan menimbulkan bibit baru intoleransi dari kejadian ‘tidak enak hati menolak ajakan’.
Contoh sederhana lainnya, ketika ingin bercerita kepada orang lain dan orang tersebut menerima ajakanmu karena ‘tidak enak hati menolak karena dirimu teman baiknya’ sedangkan dia dalam kondisi tidak baik-baik, hal ini termasuk dalam bentuk intolerasi.
Selayaknya sebelum melibatkan orang lain alangkah lebih baiknya menanyakan concern-nya terlebih dahulu sebelum melakukan, melibatkan orang lain tentu harus memikirkan apa yang mereka pikirkan, bukan semena-mena dengan tameng budaya seperti ini sudah biasa ‘kan kita teman harus saling membantu jika ada teman yang sedang mengalami kesulitan’.
Perlu disadari dalam diri masing-masing terdapat batasan toleransi yang harus dihargai, memang kebabasan itu seharusnya bebas, sayangnya kebebasan kita menjadi terbatas karena ada kebebasan orang lain yang perlu dihargai, begitupun seterusnya.
Di dunia memiliki keragaman yang mutlak, orang kembar sekalipun tidak sepenuhnya mirip seratus persen, pasti akan menemukan beberapa perbedaan sebagai ciri identitas mereka. Begitupula dengan batasan setiap orang berbeda-beda atau biasa disebut dengan personal bounderies. Personal boundaries adalah tentang bagaimana kamu ingin diperlakukan oleh orang lain dan perlakuan apa yang orang lain dapat harapkan darimu. Batasan ini penting untuk dimiliki dan juga dikomunikasikan dengan orang lain karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda.
Kecenderungan kita ingin diperlakukan orang lain memiliki keterbatasan, tidak sepenuhnya yang diharapkan terwujud. Meminimalisir keinginan yang membuat orang lain tidak nyaman berada dalam lingkuangan dan tidak bisa mengepresikan dirinya itu perlu ditanyakan. Apa yang membuat dirinya tidak nyaman? Apa yang dia inginkan? Dan pertanyaan selainnya, perlu diingat untuk tidak menanyakan yang menyudutkan satu orang.
Terdakadang hal kecil seperti ini yang selalu disepelekan oleh diri kita, menganggap semua yang sudah mengalir layaknya budaya sudah normal terjadi. Seharusnya kita memupuk rasa empati kepada orang menjadi rasa intimidasi. Orang yang berada dalam lingkaran memutuskan pilihan menerima atau menolak sama-sama memiliki resiko dalam psikolgis mereka.
Memilih jalan benar yang sudah nampak belum tentu sepenuhnya benar, dalam ilmu sosial pandangan orang itu sebuah subyektifitas dan bersifat fleksibel (tidak terpaku dalam satu hal atau dalam satu sudut pandang).
Sejenak kita renungkan perbuatan yang telah dilakukan, apakah kita sudah memberikan ruang mereka untuk menyuarakan apa yang dirasakan ataukah malah sebaliknya menciptakan ruang buat mereka bungkan dengan budaya yang dinormalisasi.
Tidak harus menjadi orang lain guna mengekspresikan dirimu, lakukanlah selagi tidak mengganggung batasan dari orang lain. Setiap diri kita memiliki hak untuk berekspresi dan menyuarakan apa yang dirasakan. Belajar menghargai keputusan orang lain dengan cara menghormati, mendukung penuh sebagai teman, dan selalu menanyakan concern mereka sebelum mengambil keputusan. Baik itu belum tentu baik sepenuhnya, dan tidak baik belum tentu tidak baik sepenuhnya.
Penulis : Akbar Trio Mashuri
Sumber Gambar : usd.ac.id