Pancasila sebagai jati diri bangsa selalu punya tantangan setiap masanya. Pertanyaan reflektif seperti ini “Apakah kesepakatan kita berbangsa ini selalu relevan dengan zaman yang terus bergerak?” penting untuk terus diulang pertanyaannya dan terus direproduksi jawabannya. Hal ini karena ragam jenis tantangan untuk Pancasila juga terus berkembang dan terus bermunculan, mulai dari tantangan dari dalam dan juga dari luar.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya bobot tantangan yang lebih ringan adalah yang datang dari luar. Tantangan dari ideologi lain yang kadang-kadang menggerogoti cara kita bernegara dan berbangsa.
Sudah sering kita jumpai tantangan-tantangan itu muncul di hadapan Pancasila. Taruhlah sekawanan manusia yang percaya khilafah adalah solusinya, mereka tak tanggung-tanggung berkampanye bahkan beraksi untuk menerapkan ideologi yg mereka percaya itu. Padahal apa yang mereka bawa belum tentu cocok dengan kondisi yang ada di Indonesia.
Hal mencolok yang membuat khilafah tidak cocok dengan iklim bermasyarakat di Indonesia adalah kelemahan mereka dalam menerima kemajemukan Indonesia. Mereka menginginkan sesuatu yang ahad dari Indonesia, padahal itu sesuatu yg mustahil terjadi di Indonesia. Karena Indonesia lahir dari keberagaman. Selain itu, mereka juga sering terjebak dalam pengambilan kebenaran yang hanya bersumber dari satu ceruk kemudian secara bersamaan menafikan ceruk kebenaran yang lain. Dan yang paling kentara adalah soal kepemimpinan, apakah khilafah bersedia dipimpin oleh orang yang tidak seiman dengan Islam sebagai basis kekhilafahan?
Kontras dengan itu, Pancasila adalah sebuah rumah dan cara pandang yang mampu merangkul seluruh elemen yang ada di Indonesia. Dengan kacamata Pancasila, kita bisa hidup berdampingan dengan saudara kita dari ujung barat sampai ujung timur. Selain itu Pancasila juga selalu memberikan ruang kebenaran yang bisa muncul dari siapa saja, tidak ada monopoli kebenaran dalam sudut pandang Pancasila dan tentu dalam kacamata Pancasila, siapa saja bisa ikut berkontestasi dalam menentukan siapa yang memimpin dan yang dipimpin.
Mereka yang mengimpor indologi memang cenderung lebih eksplosif. Tetapi tetap saja level mengganggunya lebih rendah dari tantangan yang datang dari dalam. Hal ini karena identifikasi untuk tantangan yang datang dari luar bisa lebih mudah. Berbeda dengan apa yang terjadi dari dalam.
Pancasila adalah nilai yang luhur. Yang alami bersemi dari bumi Indonesia kemudian tumbuh menaungi seluruh kebutuhan Indonesia. Dan layaknya sebuah tanaman, selalu saja ada benalu yang menjadikan Pancasila sebagai inang. Seolah-olah benalu itu bagian dari tanaman, alih-alih demikian, mereka adalah sekawanan yang malah menggerogoti Pancasila dari dalam. Mereka adalah orang-orang yang memakai baju Pancasila tetapi gerakannya untuk tujuan pragmatis-sektoral. Persis seperti benalu.
Hal ini rumit untuk dideteksi, karena kalau hanya dilihat dari tampilan luar, mereka sangat pancasilais. Tetapi perlu kita tanyakan dan uji dengan kritis, apakah mereka bergerak sesuai dengan nafas-nafas yang ada dalam Pancasila atau malah berlawanan.
Ketika kita kenal salah satu nafas Pancasila adalah menerima kemajemukan, apakah orang-orang yang memakai baju Pancasila itu juga menerima kemajemukan? Semisal kasus yang baru kita hadapi, yakni soal rasisme pada saudara-saudara kita di Papua. Kalau kita benar-benar menggunakan Pancasila sebagai kacamata melihat realitas, kita akan sadar betul bahwa saudara kita di Papua adalah sama-sama manusia Indonesia yang perlu dihargai. Tidak akan ada tindakan rasis baik berbasis warna kulit, asal ras sampai agama kalau benar-benar menggunakan Pancasila sebagai sudut pandang.
Selain menerima kemajemukan, salah satu ciri luhur Pancasila adalah menerima kebenaran dari berbagai sisi. Pancasila tidak menghendaki monopoli kebenaran. Kebenaran bisa muncul dari siapa saja, mulai dari presiden, sebagai kata sifat, sampai masyarakat di level grass root. Semua memiliki potensi yang sama dan setara untuk dihargai. Idealnya memang seperti itu. Sehingga aneh betul ketika ada yang mengaku memegang otoritas kebenaran tetapi mengaku pancasilais. Apalagi menggunakan Pancasila sebagai tudung aling-aling dan menyalahkan lian.
Selain kelompok benalu, tantangan internal lain dari Pancasila adalah soal kontekstualisasi. Apakah Pancasila akan terus sesuai dengan zaman atau butuh beberapa penyesuaian. Taruhlah tantangan zaman yang bersama-sama kita hadapi; Covid-19. Apakah pandangan Pancasila bisa menyelesaikan tantangan kontekstual seperti itu?Sari-sari Pancasila apakah mampu menjadi guidekita dalam mengarungi beratnya lautan pandemi ini. Hal-hal seperti ini yang perlu bersama-sama selalu kita kaji.
Mari sedikit kita simak, apa tantangan paling kuat untuk kita sebagai bangsa Indonesia selama mengarungi pandemi ini? apakah kemiskinan yang terus tumbuh, tingkat kebahagiaan menurun? pendidikan yang mandek? ekonomi yang lesu? Apakah krisis kesehatan dan pelayanannya yang parsial?
Jikalau itu adalah tantangan yang besar untuk bangsa ini, lantas apakah kacamata Pancasila mampu menjadi mercusuar dan memberikan sebuah pandangan yang terang untuk melewati itu semua?
Perlu sekali-kali kita renungkan lagi sari-sari Pancasila yang mana di sana ada nilai seperti gotong-royong, kemanusiaan, persatuan sampai keadilan. Apakah nilai-nilai ini bisa digunakan untuk “melindungi” kita dari pandemi? Taruhlah jawabannya “iya”. Lantas kenapa masa pandemi di negeri ini malah banyak diisi deretan drama yang datang dari segala lini. Apakah tantangan kontekstualisasi Pancasila juga ditunggangi benalu yang samar-samar terlihat? Kalau memang iya, benalu itu lah yang perlu kita bersihkan dulu.
Kita semua sadar betul, interpretasi Pancasila masih kurang di sana sini. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi dan diperbaiki. Masih banyak benalu-benalu berseragam Pancasila yang bukannya berperilaku pancasilais, malah bertindak kontra dengan Pancasila. Ini adalah kerja kolektif, kerja semua anak bangsa Indonesia. Semoga kita tidak jenuh merawat Pancasila, meskipun saat Pancasila sudah digerogoti habis-habisan oleh benalu sialan.
Akhir kata, selamat ulang tahun Pancasila! Terus tumbuh subur!
Penulis: M. Bakhru Thohir (GUSDURian Malang- Jogja)