Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan tradisi lokal yang beragam, salah satunya yaitu tradisi yang cukup menarik perhatian masyarakat yaitu larung sesaji yang dilakukan di Telaga Sarangan, Magetan, Jawa Timur. Telaga sarangan merupakan tempat yang memiliki keindahan alam dan nilai-nilai budaya yang masih dijaga dan dilestarikan hingga saat ini.
Kearifan lokal larung sesaji di Telaga Sarangan merupakan salah satu bentuk nyata dari kehidupan masyarakat Jawa Timur yang masih sangat dihargai hingga saat ini. Larung sesaji sendiri merupakan upacara adat yang melibatkan pemberian sesaji atau persembahan kepada leluhur atau roh yang diyakini oleh masyarakat sekitar. Dimana upacara adat tersebut dilakukan oleh masyarakat setempat dalam rangka ucapan syukur, permohonan berkah, keselamatan dan kelancaran dalam kehidupan mereka. Upacara larung sesaji di Telaga Sarangan tidak hanya menjadi acara keagamaan tetapi juga menjadi daya tarik wisatawan untuk melihat rangkaian upacara tersebut.
Pada dasarnya masyarakat tidak mengetahui asal mula adanya tradisi larung sesaji di Telaga Sarangan, masyarakat hanya mengetahui tradisi ini merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang yang harus dilestarikan. Jika ditinjau dari legenda, tradisi larung sesaji ini berkaitan dengan mitos asal mula terbentuknya Telaga Sarangan. Masyarakat meyakini bahwa pulau yang ada di tengah telaga tersebut merupakan tempat tinggal penghuni yang meminta tumbal setiap tahunnya. Sehingga masyarakat menganggap jika tidak diberi sesaji, maka penunggu yang ada di pulau tersebut akan marah dan membuat bencana. Oleh karena itu, setiap tahunnya masyarakat membuat sesaji yang kemudian di larung-kan di Telaga Sarangan.
Upacara larung sesaji dilakukan setiap setahun sekali dengan perhitungan kalender jawa yaitu setiap hari Jum’at Pon di bulan Ruwah. Upacara larung sesaji ini merupakan rangkaian puncak dari upacara bersih desa yang dilakukan oleh warga setempat. Dimana prosesi larung sesaji diawali dengan kirab tumbeng Gana Bahu yang terbuat dari nasi setinggi 2,5 meter yang dipikul oleh 4 orang.
Adapun rombongan kirab tersebut diawali oleh warga yang memakai pakian kejawen, kemudian perangkat desa dan bupati, sepasang domas laki-laki dan perempuan, reog yang dipercaya sebagai pagelaran yang disukai oleh danyang Telaga Sarangan yaitu Kyai Jaelelung, dan diakhiri dengan warga yang berdandan layaknya prajurit dan menunggangi kuda.
Setelah rangkaian kirab dilakukan, sesaji tersebut diserahkan kepada sesepuh yang sudah menunggu di punden telaga untuk didoakan bersama-sama. Selesai penyerahan sesaji dan doa bersama akan dilakukan pertunjukan tari gambyong dan setelah semua prosesi selesai dilakukan, sesaji tersebut dinaikkan ke atas kapal boat yang ada di telaga dan kemudian dikirab mengelilingi telaga. Ketika sesaji tersebut sampai di tengah telaga maka tumpeng Gana Bahu dan tumpeng-tumpeng lainnya yang berisi sayuran, buah-buahan dan hasil bumi dilarungkan atau ditenggelamkan.
Dengan dilarungkannya sesaji, maka selesai sudah tradisi larung sesaji Masyarakat sekitar berharap dengan selesainya upacara tersebut akan diberikan dampak positif seperti kemakmuran, kesejahteraan, dan terhindar dari musibah serta mara bahaya.
Oleh karena itu, kearifan lokal berupa larung sesaji di Telaga Sarangan ini perlu dipertahankan sebagai identitas nasional yang harus dilestarikan untuk memelihara keanekaragaman budaya, melestarikan sejarah dan identitas daerah, meningkatkan solidaritas sosial sesama masyarakat, dan juga mampu mendorong pariwisata dan ekonomi masyarakat sekitar Telaga Sarangan dengan adanya upacara larung sesaji. Selain itu, kebudayaan larung sesaji ini juga harus dikenalkan kepada generasi milenial untuk menjaga keseimbangan antara globalisasi dan lokalisme sehingga adanya budaya global yang terus berkembang tidak dapat menghilangkan identitas budaya.
Penulis : Tia Maria Muharromah (Universitas Brawijaya)
Editor : Akbar Trio Mashuri