Cara mengenang para pahlawan dengan mengeheningkan cipta, aku termasuk orang yang tidak pernah larut dalam renungan jasa-jasa para pejuang, boro-boro mengenang, waktu yang diberikan hanya sepersekian detik untuk merenung, ya hanya mengenang bagaimana saya tidak punya uang, itu saja.
“Ceritamu kemarin sungguh konyol,” ungkap libra sembari menepuk pundakku.
“Yeee, kapan aku cerita, ngigau kamu,” ledekku.
“Wah, wah, kayaknya kita perlu baku hantam agar kau ingat!”
“Ampuuun,” tak kuasa melihat libra marah, aku lari sekuat tenaga.
Angin semilir, aku tidur dibawah pohon rindang dan napasku masih terpenggal-penggal. Melihat kiri-kanan, apakah libra masih mengejarku atau tidak. Sangat susah lepas dari kejarannya, hampir setengah jam aku berlari dan biasanya lolos dari kejaran Libra butuh waktu hampir satu jam, ia tidak kenal lelah sama sekali. Wajah Libra sudah seperti setengah Dewa, manis sekaligus menyeramkan, kalian tidak bisa membayangkan, pasti.
Dalam lamunku, masih mengingat kesusahanku mengenaikan wanita satu lagi, Pisces. Ia memang sosok yang asik, suka membela keadilan dan menyuarakan kebebasan bagi masyarakat Indonesia, bukan membebaskan status jomlo anak muda. Teringat, bagaimana Pisces membela mati-matian pengusiran kaum minoritas di Bogor, menjelaskan dari satu rumah ke rumah lainnya untuk menjelaskan bahwa kaum minoritas juga manusia, sama seperti kalian semua.
Susah melihat orang-orang yang gak bekerja menghasilkan uang banyak, apa mereka melakukan pesugihan seperti yang ditayangkan di televisi, “Ah, kenapa aku sangat memikirkan nasib orang lain sedangkan nasibku tidak jelas?” tanyaku kepada awan, supaya menjadi saksi kelak ocehanku saat tidak memiliki apa-apa. sampai esok juga tidak tau sudah punya atau tidak.
“Nah ketemu Leo, ternyata kamu ada di sini!”
Jantung berdebar tetapi bukan tanda cinta, aku tidak ingin membuka mata dan melihat manusia setengah dewa itu. Mungkin ini adalah hidup terakhirku, satu pukulan saja yang menghantam wajah, sama halnya satu infus rumah sakit. “Tolong Tuhan! aku tidak ingin berada di rumah sakit sehabis membuka mata,” doaku.
“Gak usah pura-pura tidur, hitungan ke satu tidak membuka mata, habis nyawa kau.”
“Aaaammppuun!” tubuhku menutupi bagian vital, melindungi satu pukulan dari Libra.
“Lah, Ngapain kamu kayak gini? Seperti anak yang habis dihajar habis sama ayahnya.”
Sebentar, suara ini tidak begitu familiar, “Aaa, ternyata kamu Pisces. Bersukur nyawaku kali ini tidak terancam. Untung saja kamu yang datang, coba Libra, pasti sudah di infus nih tangan.” Pisces hanya menggangguk saja, sebab tau kelakuanku dengan Libra bagaimana setiap harinya. “Tumben kamu pulang? Ada apa Pisces? Bukannya kamu masih lama di Tanggerang?” deretan pertannyaanku seperti wawancara koruptor yang sudah pasti dihukum.
“Aku mau memberitahumu perihal kabar Libra.” terlihat wajahnya hendak menitihkan air mata, baju yang lusuh terlihat ia habis berlari ke sini, tempat di mana aku menumbangkan tubuh ini.
“Mengabarkan kabar Libra? Kan dia baik-baik saja. Tadi dia mengejarku saat aku meledeknya seperti biasa.” jelasku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan Pisces, aneh.
“Coba baca surat ini, aku tidak bisa mengatakan apa yang terjadi,” sembari menyodorkan amplop coklat. Setelah aku buka, secarik kertas dengan tulisan tangan.
Hai Leo
Tidak perlu tegang membaca surat ini dan tidak perlu bingung kenapa surat ini bisa sampai ditanganmu melalui Pisces. Aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tidak bisa menepati apa yang kita janjikan untuk membuat orang tersadar bagaimana keindagan hidup beragam dan mmembantu perjuangan Pisces.
Kamu tidak perlu menangis, tidak usah menjadi lelaki lemah yang takut surat datang. Kamu pasti bertanya-tanya sekarang, kenapa surat ini bisa datang kepadamu tiba-tiba. Ya, saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak ada di dunia. Hal yang paling aku takutkan terjadi, melahatmu sendiri berjuang atas hidup orang banyak. Sekali lagi aku minta maaf tidak bisa menepati janjiku.
Leo . . .
Jangan jadi lelaki lemah yang hanya mampu menjadi beban orang sekitar, aku tau kamu bisa melewati semua dan bahkan membantu orang-orang yang ada di sana. Permintaanku terakhir sebelum aku masuk ke dalam zona Tuhan, aku berharap kamu membantu Pisces memperjuangkan hak-hak bagi kelompok minoritas.
Aku sudah berbicara pada Pisces waktu lalu, dan ia menyetujui permintaan trakhirku.
Selamat tinggal Leo . . .
Libra, partner abadimu.
Bagaimana ini bisa terjadi, sangat tidak mungkin. Ia masih sehat dan bisa berlari mengerjarku, “Apaa yang sebenarnya ingin engkau tunjukkan Tuhan!” teriakku.
Pisces hanya menatapku, “Aku juga terkejut ketika kamu bilang Libra bermain bersamu tadi. Yang terjadi sebenarnya satu hari yang lalu penyakit jantung Libra kambuh dan harus dirawat di rumah sakit. aku minta maaf kepadamu karena tidak sempat memberitahu, ini sepenuhnya permintaan Libra. Jam 11 tepat Libra sudah menghembuskan napas terkahir.”
“Tidak adil! Sangat tidak adil.” Membenturkan kepalaku ke pohon berkali-kali, tak sadar dahiku sudah dipenuhi darah.
“Sabar Leo, mari kita penuhi apa yang jadi keinginan Libra.” Pintanya.
Aku akan ingat saat terakhir kali kita bertemu. Saat kamu mengganguku sampai drama mengejar sekalipun tidak pernah terlupakan, selamanya. Aku berjanji untuk menjalani permintaan terakhirmu, untuk berjuang membela hak masyarakat, dan membumikan kedamaiaan di negeri para bedebah.
Akbar Trio Mashuri (Duta Damai Jawa Timur)