Oleh: Faridatur Riskiyah
Hai, sudah berapa banyak orang-orang yang meremehkan dirimu? Mulai dari kamu perempuan, tinggal di desa, dan anak terakhir pula. Apalagi yang bisa diharapkan jika terlahir dengan kondisi menyedihkan ini.
Jangan buang-buang waktu hanya untuk sekedar bertanya soal mengapa. Bukankah jauh di dalam hatimu, sudah ada jawabannya?
Sejak awal ideologi Patriarki memang sudah mendarah daging di hati banyak orang. Menjelma bagaikan duri, melukai diri sendiri, membuat perempuan tidak lebih tinggi dari laki-laki.
Orang tuamu pernah berkata, “Perempuan nggak usah pergi jauh-jauh, dekat rumah saja biar bisa merawat orang tua.”
Mengakulah … Bagimu itu tidak adil, bukan? Bukankah hatimu langsung sakit saat mendengar perkataan itu? Iya, di saat yang bersamaan, kamu melihat kakak dan adik laki-lakimu pergi kemanapun sesuka hati mereka.
Jangankan soal pergi dan tidak pergi. Sejak kecil pun, kamu sudah paham tentang perbedaan yang terjadi
Dua orang yang kamu sebut Ayah dan Ibu, selalu memarahimu saat pulang larut malam, menuntut agar bisa memasak, membantu pekerjaan rumah. Sementara, lagi dan lagi, kakak dan adik laki-laki yang masing-masing hanya berjarak 2 tahun darimu bisa bebas pulang kapanpun.
“Nggak usah dicari. Namanya juga laki-laki, paling main sama temennya,” kata Ayahmu.
Ibumu menimpali, “Nanti juga pulang sendiri kalau sudah selesai main, toh di rumah mereka nggak ada kerjaan.”
Saat mendengar itu, bukankah perasaan campur aduk? Bahkan kamu menangis seraya mencuci piring saat itu.
“Apanya yang nggak ada kerjaan, mereka bisa cuci baju sendiri, menyapu kamar sendiri, atau apalah.” Ketemu seorang diri. Padahal kamu juga anak mereka, tapi perlakuannya sungguh berbeda hanya karena terlahir sebagai perempuan.
Perempuan, dalam banyak aspek, tidak pernah lebih rendah dari laki-laki. Itulah yang kamu percayai. Satu-satunya batu besar yang menghambat perkembangan perempuan justru berasal dari sosialisasi masyarakat itu sendiri.
Masyarakat, entah itu ayah, ibu, om, tante, tetangga, dan hingga manusia-manusia lain di berbagai penjuru dunia terlalu sibuk mengelompokkan manusia menjadi laki-laki dan perempuan. Seolah-olah keduanya memiliki peran yang bertolak belakang.
Selalu saja begitu.
Pemikiran kolot itu pun punya banyak penganutnya. Jangan pernah berpikir untuk sukses sebagai wanita karir. Perempuan yang bisa sukses juga masih harus mengurus anak serta suaminya. Alih-alih mendapatkan satu peran, perempuan selalu mengalami peran ganda dikali tiga.
Iya, mari jabarkan peran ganda dikali tiga ini. Setidaknya, ini yang selalu ada di pikiranmu, kan?
Baiklah, coba keluarkan saja agar hatimu lega. Maksudku, jika perempuan memilih bekerja, dia akan selalu dilekatkan dengan tugas-tugas lainnya, kan? Entah itu tugas memasak, membersihkan rumah, melayani suami, hingga mengurus anak.
Padahal, urusan domestik itu adalah skill kehidupan yang harus dimiliki oleh semua orang. Terlepas dari apakah itu laki-laki atau perempuan. Lalu, melayani suami? Bukankah istri juga perlu dilayani? Apalagi mengurus anak, anak ini sebenarnya anak siapa? Anak dari perempuan saja? Jadi Ayahnya tidak mau ikut mengurus juga?
Pertanyaan yang banyak itulah selalu menggerogoti kepalamu secara perlahan, seiring dengan adanya pemandangan saudara laki-lakimu yang satu per satu mulai meninggalkan rumah. Mereka pergi kuliah di kampus ternama, bekerja di perusahaan besar, bahkan menikah dengan perempuan dari keluarga terpandang.
Sementara dirimu? Hanya tamatan SMA, dijodohkan dengan laki-laki pilihan orang tua, dan hidup di desa sambil merawat si pecandu rokok yang telah renta. Seolah berusaha menambah jeruji-jeruji besi untuk menahanmu agar tetap tinggal.
Seperti saat ini pun, kamu menelan seluruh cita-cita ingin jadi perempuan berpendidikan tinggi, meneliti banyak hal, justru terjebak mengurus seorang Ayah yang sakit-sakitan karena adiksi rokok.
Jangankan melawan, kamu tidak punya daya tawar lebih selain tenaga seorang perempuan yang selalu diasosiasikan dengan urusan domestik. Kamu pun benci dengan fakta tentang Ayah yang sakit. Merasa tidak adil.
“Dia sendiri yang ngerokok terus-terusan, kenapa pula aku yang mengurus sakitnya!” Begitulah bunyi pikiranmu sekarang. Hanya bisa menggerutu untuk melihat semua perilaku yang tidak adil menimpa dirimu.
***
Tentang Penulis:
Faridatur Riskiyah, perempuan yang suka menulis banyak hal. Kunjungi semua karyanya lewat tautan: linktr.ee/friskiyah