True Story – Sekitar tiga bulan yang lalu, saya melakukan kegiatan pengabdian di sebuah tempat yang jauh dari perkotaan. Selama satu bulan, jauh dari kebisingan kota dan keramaian membuat saya intopeksi diri akan diri sendiri. Banyak sekali perubahan dan kejadian yang dapat saya ambil dari setiap harinya.
Terkadang bertemu orang baru membuat kita tidak dapat menjadi diri kita sendiri karena beberapa alasan seperti jaga image, malu-malu dan tidak percaya diri agar seolah olah terlihat seperti good people untuk menarik perhatian banyak orang. Setelah saya pikir, hal tersebut merupakan boomerang bagi kehidupan kita nanti.
Saya sempat mengalami hal tersebut ketika melakukan kegiatan pengabdian dan bertemu orang yang baru saya kenal. Dan saya berfikir, Saya harus memulai obrolan dari mana? Memang kita harus beradaptasi lebih cepat sebagai manusia tetapi menilai orang lain itu sangat sulit apalagi menilai diri sendiri.
Alhasil, saya sempat terpuruk kedalam lingkaran psikologis, kesalahan yang saya ambil adalah menjadikan manusia sebagai support system. Manusia ini dapat diartikan teman selama mengabdi.
Baik dan rupawan memang kelemahan hati bagi semua kalangan manusia untuk membuatnya tertarik, itu adalah gambaran teman saya yang dapat merubah dan semangat menjalani setiap kegiatan. Dia adalah manusia baik di mata semua orang. Apakah benar? Halusinasi ataukah realita?. Teman-teman memanggilnya “sachou” dapat diartikan sebagai pemimpin. Sachou adalah kata dari Bahasa Jepang. Semua orang memanggil “sachou” karena dia menempuh Pendidikan Bahasa Jepang dan mempunyai sifat leadership yang tinggi.
Kepemimpinan yang sangat baik dan humble terhadap teman-temannya suatu kelebihan yang dia miliki. Seorang mentor dan bertangan dingin dalam melaksanakan kegiatan. Sifat sabar dan tenang dalam menghadapi tekanan, sangat tangguh sekali. Manusia mana yang tidak dapat tertarik sama dia? Bisa dikatakan sempurna. Rajin ibadah dan berhati emas, setiap Langkah kakinya menandakan akan menuju kedamaian.
Selama saya terjebak dalam ilusi hati, sachou itulah yang saya jadikan support system, tapi saya bertanya lagi kepada hati saya. Perasaan saya seperti ini hanya sementara atau tidak? Apakah saya benar memanfaatkan kelebihan manusia sebagai penyemangat hidup? Kondisi itu membuat saya terpuruk dan gelisah karena merasa tidak menjadi diri sendiri yang sesungguhnya.
Karena banyak yang bilang, salah satu pengalaman hidup yang paling berharga adalah ketika kalian berada di titik terendah. Pada saat posisi seperti ini, sebaiknya segera menemukan support system yang cocok. Pertanyaannya adalah support system dari siapakah yang kalian butuhkan? Diri sendiri, sahabat, ataukah teman spesial?
Akhirnya saya merenung dan berfikir untuk menemukan jati diri. Di situasi seperti ini apakah yang harus sebaiknya saya lakukan saya mencoba menilai diri saya sendiri sesuai ilmu psikologis yang ada. Karena masalah yang kita peroleh dapat mempengaruhi hubungan sosial serta Kesehatan mental. Lantas apa sebenarnya support system itu?
Support system – adalah individu-individu yang dapat memberimu dukungan mental dan emosional saat dalam kondisi trauma dalam keadaan susah. Mereka adalah orang yang dapat kalian percaya sepenuhnya dan menampung semua kegelisahanmu. Dalam hal ini, setiap individu dapat memberikan kepuasan emosional.
Dari literasi yang saya baca, saya mengalami konsisi psikologi “Altschmerz” yaitu rasa khawatir akan suatu hal sampai membuat tidak tertarik lagi akan hal tersebut tetapi masih mengkhawatirkannya. Dan hal ini sering terjadi di Gen-Z saat ini seperti masalah percintaan dan pertemanan. Perasaan bimbang dan membingungkan tersebut membuat risau akan hal yang terjadi sesungguhnya dalam diri kita.
Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan “Jouska” yaitu kondisi dimana diri kita berbicara dengan diri sendiri di dalam pikiran atau juga bisa disebut dengan berdistraksi. Pasti semua orang penah mengalami hal seperti ini tetapi tidak tau secara spesifik cara mendiagnosisnya. Hal ini bisa terjadi Ketika kita sedang sendiri di sebuah tempat misalnya kamar.
Perilaku Jouska dapat berdampak negative bagi hubungan sosial yaitu bisa disebut dengan “Adronitis” yaitu ketika kalian ingin berkenalan dengan seseorang tetapi tidak dapat mengenalnya lebih dekat kemudian terjadilah perasaan kesal dan frustrasi. Kenapa hal ini dapat terjadi? Karena pikiran kita yang tidak percaya diri dan tidak mengenali diri. Merasa jelek akan fisik dan komunikasi juga dapat menimbulkan pola perilaku Jouska. Dari perilaku itu orang lain dapat menilai kita seperti orang aneh atau dapat disebut dengan “Nodus Tollens”.
Sesuai yang sudah saya bahas di awal bahwa manusia yang tidak bisa menilai atau mengenali diri sendiri dapat menjadi boomerang bagi kehidupan nanti, sehingga dapat terjadi perilaku “Kuebiko” yaitu rasa putus asa akan menjalani kehidupan. Support system dicari dari diri sendiri terlebih dahulu, dengan cara sayangi diri sendiri, jaga perasaan sendiri dan membahagiakan diri. Cari pendengar yang baik dan menjaga hubungan dengan baik untuk mendaptkan support system yang tepat.
“Manusia bukan tempat untuk pengeksploitasikan perasaan tetapi manusia sebagai teman cerita yang tidak ada ujungnya. Tolonglah dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum menolong orang lain”
‘for u’
Tentang Penulis.
Arya Trian Hidayat. Laki-laki biasa, yang suka menulis. Kunjungi medianya di @abmcooll