Auw Tjoei Lan, seorang wanita Tionghoa yang berdedikasi tinggi dalam memberantas perdagangan perempuan. Ia lahir di Majalengka pada tahun 1889 dan berasal dari keluarga yang terpandang karena ayahnya Auw Seng Ho yang merupakan seorang Kapitan Tionghoa dan pemilik kebun tebu dan pabrik gula, pula dikenal masyarakat dengan kedermawanannya dalam berbagai kegiatan amal. Jiwa filantropis yang ada pada Auw Tjoei Lan sangat dimungkinkan terinspirasi dari tindakan ayahnya sehingga ia memiliki rasa kepedulian terhadap sesama sejak usia belia.
Ia kemudian pindah ke Batavia setelah menikah dengan seorang Mayor Tionghoa. Selama tinggal di Batavia, ia bertemu dengan orang-orang baru dan akhirnya berkenalan dengan Dr Zigman yang menjadi guru dalam bidang bahasa dan kebudayaan Belanda. Perkenalan inilah yang membawa keterlibatan Auw Tjoei Lan terlibat dalam kepengurusan organisasi “Ati Soetji”, sebuah lembaga yang didirikan oleh Dr. Zigman dan beberapa koleganya.
Melalui lembaga itulah, Auw Tjoei Lan terjun langsung dalam melindungi perempuan-perempuan muda asal Tiongkok yang menjadi korban penyelundupan manusia ke Batavia. Perdagangan perempuan memang rawan terjadi saat krisis moneter pada tahun 1930.
Pada awal mulanya, beberapa perempuan belia umumnya berasal dari keluarga kurang mampu yang dibawa dari Cina untuk dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga di Malaya tetapi kemudian mereka dijadikan sebagai pelacur di rumah-rumah bordil. Malaya lalu memperketat izin masuk kapal-kapal yang berasal dari Cina dan perempuan-perempuan muda ini diperjualbelikan di Batavia. Usaha Auw Tjoei Lan tentulah tak mudah, sebab ia berdiri diatas kakinya sendiri harus berhadapan dengan mucikari-mucikari.
Ancaman fisik kerap ia jumpai namun tak sekalipun menyurutkan api semangatnya untuk tetap memberikan perlindungan pada perempuan-perempuan tersebut. Auw Tjoei Lan kerap keluar di malam hari dan pergi ke pelabuhan guna mencari keberadaan perempuan yang membutuhkan pertolongannya. Di lembaga Ati Soetji inilah, perempuan-perempuan muda tersebut dilatih keterampilan. Tujuannya supaya mereka mampu mengakses pekerjaan yang layak. Ia pula menyuarakan isu perdagangan perempuan saat mewakili Indonesia dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1937.
Dalam tulisan karya Myra Sidharta yang berjudul, “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” menuliskan bahwa Auw Tjoei Lan menyampaikan usulannya agar perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia diberikan pendidikan khusus supaya dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan.
Perjuangan Auw Tjoei Lan tak berhenti, ia kemudian mendirikan sebuah panti asuhan yang menjadi tempat penampungan bagi anak-anak yatim piatu. Pendirian panti berawal dari keadaannya yang sering menerima bayi-bayi yang ditinggalkan di depan rumahnya untuk dirawat akibat masalah ekonomi atau dari hubungan yang tidak diinginkan. Panti asuhan memiliki nama yang sama dengan lembaga yang didirikan oleh Dr Zigman yang dalam bahasa Tionghoa dikenal dengan Po Liang Kiok (tempat perlindungan untuk menjaga kebajikan). Ia pun memiliki jiwa toleransi yang tinggi karena tak hanya anak-anak keturunan Tionghoa yang dirawat tetapi juga anak-anak setempat supaya sama-sama mendapatkan pendidikan dan perawatan yang baik.
Sumber: hatisucischool.sch.id
Jejak perjuangan Auw Tjoei Lan tetap dapat terlihat dari panti asuhan yang dibangunnya yang kemudian berkembang menjadi Yayasan Hati Suci yang juga menjadi sekolah mulai dari tingkat dasar (TK) hingga SMA. Semangat nan dedikasinya tetaplah ada hingga sekarang walau Auw Tjoei Lan telah meninggal di tahun 1965. Kisahnya ditulis oleh A Bobby dalam bukunya yang berjudul, “Ny. Lie Tjian Tjoen: Mendahului Sang Waktu.”
Penulis: Ajeng Adinda Putri