Lain kali kamu harus bisa menjadi yang terhebat, mengalahkan semua anak-anak manja mengandalkan kedua orang tua mereka. Puluhan sepeda motor lalu lalang tenang, aku berjalan di trotoar dengan ayahku sehabis membeli obat-oabatan.
“Yah, mengapa mereka semua menderita? Siapa yang salah?” tanyaku sembari melihat beberapa pedagang diangkut petugas.
“Jangan, Pak. Jangan … besok saya mau makan apa?” teriak pedagang kaki lima membela sigap agar jualan mereka aman. Sedangkan pegadang lain, tidak bisa diselamatkan. Ayahku hanya terdiam tidak menjawab pertanyaanku, kita melihat air mata banyak jatuh untuk mempertahankan hidupnya.
“Pak! Besok saya ingin mati saja!” teriakan suara ujung jalan, manusia tergeletak lemas dibawah terik matahari, orang-orang mencoba memindahkan ke tempat sejuk, lagi-lagi ditolak, “Tidak! Kalian tidak tau rasanya kelaparan! Satu hari makan, terkadang hanya minum air putih saja!” sembari menunjuk orang yang ingin membantunya.
Tanganku menarik tangan ayah, tidak ada jawaban walau satu kata. Air mataku turut keluar melihat kejadian di luar nalar manusia. Anak tak berdosa melihat orang tuanya menitihkan air mata, pejalan kaki merekam kejadian itu, sebagian menolong orang yang pingsan.
“Ayah, jika kita diposisi mereka, apa kita akan melakukan hal yang sama?” aku ingin mendengar jawaban keluar dari mulut ayah. Tanpa berbicara ayah menarik tanganku untuk segera pulang. Suasana tidak ingin aku lihat, ayah lebih mengerti keadaanku, menatap lengang penuh kesedihan, hanya untaian doa bisa dipanjatkan ke hadirat Tuhan.
“Tuhan, Engkau Maha Kuasa atas dunia, berikan mereka kehidupan layak seteleh mereka menerima luka. Hanya Engkau tempat mereka kembali dan hanya Engkau tempat kami meminta,” doaku dalam hati.
Seratus meter lagi sudah sampai rumah, ayah tetap tidak berbicara satu kata sekalipun. Tidak ada alasan untuk diriku marah. Dari kejauhan paman melambaikan tangan, mencoba memberikan isyarat untuk bergegas pulang.
Pikiranku kacau, setelah sampai di dapan rumah napasku masih terperangah. Paman menjelaskan ibu mengalami sesak napas, bantuan oksigen melekat dihidungnya. Tubuh kecil dan kurus akibat sakit tak kunjung putus. Tak ada yang lebih tabah dari perempuan, mampu menahan sakit melebihi batas kemampuan manusia.
Wajah ayah sangat tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Baru kali ini melihat ayah seperti orang tidak memiliki hati nurani. Aku mempertanyakan status kemanusiaan ayahku, apakah ayahku memiliki hati? Apakah ayahku hanya memiliki otak saja? Jangan-jangan ayahku ditukar oleh robot?
Semakin memikirkan tidak memiliki jawaban, terserah mau bagaimanapun, saat ini kesembuhan ibu menjadi keutamaan bagiku.
“Pra, sini duduk dekat ayah.” terkejut ayah tiba-tiba memintaku duduk. Aku memenuhi apa yang ayah mau sebai bakti menjadi anak, meskipun hati masih merasa jengkel.
Selepas duduk disampaing ayah, “Kamu ingat Pra, perihal mereka yang diusir atas kesalahan melanggar aturan dagang?”
“Iya Yah, ingat.” jawabku singkat.
“Pesan ayah, tatap mereka sebagai manusia dan berprilakulah seperti manusia.” jelas ayah. Aku tidak memahami apa yang dimaksudnya berprilaku seperti manusia, selama ini aku berprilaku kayak hewan, tentu bukan.
“Maksud ayah?” tanyaku penasaran.
“Kamu harus baik kepada orang lain sebagaimana kamu baik kepada dirimu sendiri, jangan menyakiti siapapun, semua masalah bisa diselesaikan dengan kasih dan sayang. Ingat, kata-kata ibumu sebelum sakit dulu ‘Jangan pernah membeda-bedakan orang lain, semua sama dimata Tuhan sebagai manusia. Tugasmu menyampaikan sebuah kasih sayang dan setiap masalah ada solusi yang tidak menyakiti. Kamu harus lakukan itu’.” ayah jalan menuju kamar mandi.
Suara teriakan paman membuyarkan lamunanku, ibu sudah diambang batas. Tangan ibu, ku pegang erat dan tak ingin kulepas. Satu nafas panjang mengakhiri hidup ibu, isakan tangis tak terelakkan. Semua orang menangis termasuk diriku. Sepertinya sesak napas ibu berpindah kepadaku, air mata berjatuhan, “Tiiidaaak!” teriakku.
“Sabar Pra, sabar.” paman mencoba menenankanku.
Isak tangis masih ada, “Ba-gaimana aku sabar pa-man, bagaimana?”
Paman membawaku ke kamar, menangis jalan satu-satunya meluapkan emosi yang ada padaku. Ibu, tak akan ada lagi senyumnya di esok hari. Keindahan terbesar sirna melebihi rekahan bunga di pagi hari. Esok jadi hari berat pekat, semua semangat hanya jadi fatamorgana melangsungkan kehidupan.
Tiga jam kemudian prosesi pemakaman ibu dilaksanakan, ayah menatap diriku tersenyum. Pikiranku benar-benar kacau lagi, bagaimana bisa ayah bisa tersenyum ketika melihat wanita yang dicintai tergeletak tak bernyawa, memang benar-benar tidak memilikihati nurani.
Prosesi doa sudah berakhir juga, bunga sudah ditabur cantik. Sekarang baru ingat mengapa ayah bisa ternsenyum pulas. Sebab, ayah adalah imajinasi yang aku buat dalam pikiranku sendiri. Bayangan yang seolah nyata terjadi, hasil dari ingatan masa lampau dari nasehat-nasehat kebaikan demi keselamatan anaknya.
Ayah, Ibu, Pra tidak sanggup melanjutkan hidup. Jika aku sudah tidak kuat lagi, ayah dan ibu boleh mampir di mimpi meski hanya sekedar memberi semangat tuk berdiri. Suara terbisik di gendang telingaku, “Anak ayah dan ibu pasti kuat.”
**
“Itulah Bil, cerita lama tak pernah terlupa ditiap pergantian masa. Selalu menjadi trauma dibalik satir kebahagiaan, ada kesedihan mendalam.” jelasku dengan sahabat karibku. Hanya Billy yang menemanikau saat ini di Jakarta.
“Kata keluar dari mulut akan sangat tidak pantas jika membenarkan, aku hanya ingin menjadi sahabatmu dan bisa membantu apa yang menjadi masalahmu,” ucap Billy sembari menepuk pundakku. “Bukankah sekarang kita dalam jeruji suci yang nantinya menunggu giliran untuk mati?” sambungnya. Aku menangguk, keberan mutlak apa yang dikatan Billy. Semua menunggu giliran tuk memenuhi panggilan Tuhan.
Penulis: Akbar Trio mashuri (Duta Damai Jawa Timur)