Ritual Petik Laut merupakan ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat pesisir pada setiap tahunnya, sebagai rasa syukur atas rejeki yang telah diperoleh dari hasil melaut. Menurut (Rahayuningtyas & Siahaya, 2017) “Petik Laut” berasal dari kata “Petik” (bahasa Jawa) dan Laut. “Petik” diartikan sebagai mengambil dan memetik hasil usaha dari laut atau dalam bahasa Jawa yang berarti “ngunduh”.
Salah satu wilayah pesisir yang melaksanakan tradisi Ritual Petik Laut adalah Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Ritual ini berlangsung selama tiga hari tiga malam, dengan puncak acara tanggal 27 September. Tanggal tersebut merupakan hari peresmian TPI Sendang Biru, sehingga tanggal tersebut merupakan tanggal sakral sekaligus tanggal formal bagi masyarakat Sendang Biru.
Masyarakat Sendang Biru adalah masyarakat multikultur yang terdiri dari 3 etnis atau suku, yaitu: Bugis, Madura dan Jawa yang umumnya berprofesi sebagai nelayan. Ritual Petik Laut di wilayah ini dilaksanakan tanpa memandang identitas masyarakat dan saling melengkapi satu sama lain. Ritual ini menumbuhkan semangat gotong royong, untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam partisipasi acara tersebut, sehingga ritual ini mengikis perbedaan menuju penciptaan ruang bersama
Penciptaan ruang bersama, tercermin dari unsur-unsur atau rangkaian prosesi Ritual Petik Laut, seperti: tirakat, istighosah, sesajen, arak-arakan, larungan, ngruwat. Unsur-unsur dalam petik laut merupakan hasil dari pemikiran yang melekat dalam kehidupan masyarakat hingga dituangkan sebagai tindakan. Masyarakat sangat mempercayai unsur-unsur tersebut, akibat adanya kesinambungan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini maupun di masa mendatang.
Sebagai bagian dari budaya, masyarakat Sendang Biru tidak memaksakan akan persamaan pandangan terkait tradisi yang berlangsung. Keberagaman dalam masyarakat membaur menjadi sebuah akulturasi, seperti dalam rangkaian tirakat. Tirakat dilakukan oleh masyarakat yang bertugas membuat sesajen serta para tokoh agama setempat dengan melaksanakan puasa sunnah, dan “melekan”(berjaga semalaman) untuk melindungi sesajen dari bahaya yang mengancam.
Kemudian prosesi istighosah. Pelaksanaan istighosah dilakukan melalui proses negosiasi atau yang dikenal dengan istilah “rembugan”. Pada tahun 2018, istighosah dilaksanakan dengan mengundang Cak Nun dan pertunjukan seni wayang. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat memiliki ruang dalam menikmati ekspresi kultural dan pertimbangan lainnya.
Lalu, persiapan sesajen. Masyarakat Sendang Biru saling gotong-royong dalam menyiapkan sesaji selama satu minggu, mulai dari proses pengumpulan dana oleh panitia hingga proses pembuatan sesaji. Sesaji disiapkan oleh ibu-ibu yang telah terbrntuk dalam sebuah tim. Yang terdiri dari: hasil laut, hasil bumi, nasi tumpeng dan cincin emas sebagai wujud persembahan untuk Sang Penjaga Laut, yaitu “Nyi Roro Kidul”.
Selanjutnya adalah Arak-arakan. Arak-arakan merupakan acara pendamping dalam prosesi Ritual Petik Laut dalam acara puncak, tanggal 27 September. Dalam rangkaian ini, sesaji diarak untuk proses pelarungan dan diikuti oleh berbagai macam kesenian, seperti: sepasang pengantin, drumband, baju adat 3 suku (Jawa, Madura, Bugis), dan terdapat tokoh yang berperan sebagai “Ratu” sebagai simbol magis dari “Nyi Roro Kidul”. Figur tersebut menambah suasana sakralitas dan refleksi atas rejeki yang tdiperoleh masyarakat.
Kemudian, nglarung. Nglarung adalah prosesi pelarungan dengan membawa sesaji menggunakan perahu gethek hingga Batu Nyonya. Batu Nyonya merupakan batas antara wilayah Pelabuhan TPI Sendang Biru dan laut lepas sebagai totem yang diyakini masyarakat. Setelah pelarungan, masyarakat saling berebut sesaji yang telah dilarung dengan, yang diyakini akan membawa keberkahan.
Lalu, ngruwat, Ngruwat dilakukan saat menaruh sesaji didalam “gethek” dengan berdoa dan dipimpin oleh seorang modin (tokoh agama setempat). Dengan tujuan untuk mendoakan terakhir kali sebelum sesaji dilarung, seperti prinsip “sluman-slumun slamet”, yang berarti mendapatkan keselamatan dan keuntungan atas kehendak tuhan.
Meskipun Ritual Petik Laut memakan biaya dan tenaga yang tidak sedikit, masyarakat tak merasa rugi atas materi yang mereka keluarkan untuk prosesi ini. Masyarakat yakin jika mereka mempersiapkan acara ini secara ikhlas dan tanpa konflik, Sang Penjaga Laut akan menerima dengan lapang.
Perbedaan merupakan hal yang wajar, realitas keberagaman harus kita tanamkan sebagai landasan berpikir dalam setiap tindakan. Jika kita perdalam, perbedaan terbagi menjadi 2 jenis. Perbedaan sebagai pemersatu dan perbedaan sebagai pemecah identitas. Tinggal bagaimana kita mengolah perbedaan tersebut menjadi pemersatu tanpa menghilangkan unsur didalamnya.Seperti halnya Ritual Petik Laut, perbedaan kultural tidak menjadi penghalang melainkan menjadi wujud ekspresi budaya yang sangat iconic dan berpotensi sebagai objek pariwisata. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan adaptasi ketika dihadapkan oleh realitas dan lingkungan baru, tinggal bagaimana individu menekan rasa ego dan mempertimbangkan kepentingan bersama hingga menciptakan perdamaian tanpa batas.
Penulis : Dewi Ariyanti Soffi