Oleh: Ajeng Adinda Putri
Selama hampir satu dekade, kondisi ruang kebebasan berpendapat dan demokrasi telah mengalami penyusutan. Hal inilah menjadi latar belakang bagaimana pergerakan masyarakat sipil semakin kuat beberapa hari menjelang Pemilu 2024 diselenggarakan. Baik guru, dosen, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya tak henti menyuarakan kekhawatiran dan kegelisahannya akan kondisi demokrasi yang tak sedang baik-baik saja ini. Tujuannya tak lain demi terselenggaranya Pemilu 2024 yang damai, jujur, dan adil.
Menurut Indeks Demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia masih tergolong “cacat” (flawed democracy). Indeks demokrasi Indonesia, selama era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung meningkat, dari 6,41 (2006) menjadi 6,95 (2014). Kemudian dalam pemerintahan Joko Widodo skornya fluktuatif, sempat mencapai 7,03 (2015) dan terakhir mencapai 6,71 (2022).
Keprihatinan masyarakat sipil pun mencuat, hingga muncul deklarasi yang disampaikan oleh sejumlah guru besar, dosen, mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya. Artinya, hal ini menunjukkan adanya upaya untuk merawat kebebasan berbicara di ruang publik sehingga hubungan negara dan masyarakat menjadi seimbang. Hal itu bermula dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi karpet merah majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden, yang kemudian dinilai telah melanggar kode etik. Selain itu, solidaritas masyarakat sipil menguat kini menandakan adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan hingga pelanggaran etika dalam kontestasi politik di Pemilu 2024.
Tak hanya berhenti disitu saja, sejumlah praktik nepotisme dan kolusi di pemerintahan Jokowi pun tak dapat dipungkiri lagi seperti Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang diduga terlibat dalam konsolidasi untuk mendukung salah satu calon presiden. Jokowi juga melahirkan kebijakan yang memberikan ruang untuk calon presiden tidak mundur dari jabatan Menteri atau kepala daerah yang dinilai berpotensi penyalahgunaan kekuasaan. Lebih lanjut, dugaan penyalahgunaan kekuasaan pun juga hadir menghiasi ruang demokrasi kita dengan mobilisasi apparat desa, politisasi bantuan sosial, dan pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye salah satu calon presiden.
Perjuangan kita tentulah tetap berlanjut, terlebih beberapa hari lagi Pemilu 2024 terselenggara. Pentingnya Pemilu yang damai, persaudaraan dan kerukunan yang menguat, serta masyarakat menggunakan hak suara secara bertanggung jawab, dan saling menghargai perbedaan pilihan politik menjadi hal yang harus dijunjung tinggi. Sebab bagi Foucault, kekuasaan bukanlah ontologi melainkan sebagai strategi dimana kekuasaan bekerja dari bawah ke atas bukan sebaliknya. Oleh karena itu, tentulah nasib negara di masa mendatang ada di tangan kita. Semoga pilihan terbaik masyarakat nantinya akan membawa ruang demokrasi negara menjadi lebih baik. Salam Pemilu Damai!