Sejak 03 Juli 2021 Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dilaksanakan se Jawa-Bali. Akan tetapi kasus kematian yang disebabkan oleh Covid-19 masih terbilang cukup tinggi. Meskipun sudah diperpanjang hingga 31 Juli 2021, pemerintah masih akan mengevalusi dan mengkaji penerapan PPKM-Darurat yang sudah dilaksakan. Mengingat banyak sektor yang terkena dampak dari penerapan PPKM-Darurat. Tidak hanya para kapitalis, dampak terasa justru dirasakan oleh rakyat kecil yang menggantungkan rezekinya dari pekerjaan berdagang jangka pendek. Pembatasan kegiatan hingga jam 20.00 memaksa para pedagang memutar otak agar tetap bisa bertahan hidup di tengah pandemi.
Segala upaya untuk memproteksi diri dari bahaya Covid-19 dilakukan pemerintah, tak terkecuali penyuntikan vaksin kepada masyarakat secara gratis. Namun acapkali vaksinasi yang dilakukan menimbulkan kerumuhan dan kerusuhan. Naudzubillah kalau vaksinasi justru menimbulkan klaster baru Covid-19. Baru-baru ini ada fenomena menarik di masyarakat, sebagai upaya menghadapi dan mengusir Covid-19 di beberapa wilayah yakni melakukan tradisi membakar kayu depan rumah masing-masing dari setelah magrib hingga hari esok sampai kayu tersebut mati dan menjadi abu.
Di Kelurahan Boyolangu Kabupaten Banyuwangi, tradisi tersebut dikenal dengan istilah ‘’Pelkudukan’’. Tradisi ini diyakini sebagai ikhtiar bersama agar pagebluk segera berakhir. Pertanyaanya, apakah tradisi-spiritual sebagai upaya menghadapi pagebluk efektif untuk mengusir virus Covid-19?
Dalam sejarah peradaban nusantara, yang diwariskan leluhur kita dari jaman kuno hingga jaman Wali Songo untuk menghadapi pagebluk adalah melalui pendekatan yang sifatnya spiritual, bukan fisikal. Orang jaman kuno melaksanakan upacara larung sesaji memohon kepada Dewa Baruna untuk mengendalikan wabah yang terlihat dan tidak terlihat, dikarenakan tokoh Dewa Baruna dianggap menguasai jenis penyakit. Selain itu, orang Keraton berikhtiar dengan mengarak bendera Tunggul Wulung hitam keliling untuk mengusir wabah. Di era Wali Songo ikhtiar menghadapi pagebluk dilakukan dengan menggunakan pendekatan do’a seperti membaca kidung purwojati dan membaca:
Lii khomsatun uthfii bihaa*Harrol wabaa il haatimah
Al Musthofa wal Murtadho*Wabnaahumaa wa Fathimah
Sepintas ketika kita menggunakan sudut pandang positivistik, mungkin ikhtiar semacam itu tidak dapat diterima, dianggap primitif dan terbelakang. Benarkan demikian ? Mari kita uji. Mula-mula mari berfikir dengan akal sehat bahwasannya yang kita lawan saat ini adalah virus yang ukurannya nano. Dengan begitu tidak bisa melawan virus berukuran nano dengan menggunakan logika fisika klasik atau hukum Newton yang menyatakan bahwa benda memiliki lintasan yang pasti. Hal ini selaras dengan fisikawan Richard Feynman yang menjelaskan bahwa dibandingkan dengan kuantum mekanik(fisika kuantum), fisika klasik ketika menghadapi benda sekecil virus tidak bisa karna lintasan virus tidak jelas.
Diperkuat dengan fisikawan Erwin Schrodinger yang disebut salah satu bapak mekanika kuantum untuk benda-benda yang kecil dengan ukuran nano dia menjelaskan ‘’ada yang disebut gelombang simetrik dan anti simetrik, dan ada gelombang yang tidak diantara keduanya’’. Artinya banyak yang tidak bisa diketahui dari gelombang makhluk kecil ukuran nano. Secara sederhana logika fisika kuantum ‘’gelombang panjang bisa diukur oleh gelombang yang pendek, sesuatu yang besar bisa diukur oleh yang kecil akan tetapi yang besar tidak bisa mengukur yang kecil’’. Artinya virus yang ukuran nano hanya bisa dihadapi dengan sesuatu yang lebih kecil yaitu vibrasi suara.
Maka tradisi pesantren yang diwariskan oleh Wali Songo dengan berdoa sebenarnya bukanlah sesuatu yang primitif dan tertinggal. Karna secara ilmiah bahwa berdoa terbukti menghasilkan vibrasi suara adalah bentuk nyata dari fisika kuantum. Untuk meningkatkan frekuensi suara maka perlu kiranya kita selalu memperbanyak membaca Al-Qu’ran, berdzikir, menyebut asma Allah Swt, seperti: wiridan membaca shalawat burdah, maulid diba’, barjanzi dan lain sebagainya. Hal ini diyakini dapat mengusir dan mengendalikan virus yang ukurannya kecil.
Dilihat dari sejarah peradaban islam, Al-Qur’an bukanlah mushaf karna penyampainnya melalui suara yang tidak berbentuk dan bersifat ghaib. Al Qur’an selain hadir sebagai Penolong (Al-Huda), Pembeda (Al-Furqon) dari kitab-kitab sebelumnya, tetapi juga hadir sebagai Obat (Syifa). Wa nunazzilu minal qur-aani maa huwa syifaa-uw warahmatul-lilmu’miniin.
Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Israa: 82).
Jangan anggap Covid-19 adalah benda mati, Covid-19 adalah makhluk hidup. Maka jangan gunakan vibrasi suara negatif seperti berbicara kotor karna pasti akan membuat kasus Covid-19 semakin meledak. Maka ikhtiar kita, mari galakan vibari suara positif dan isolasi mandiri. Isolasi mandiri pernah diteladankan oleh Ibnu Sina ketika ada wabah Ibu Sina karantina selama 40 hari. Semoga diri kita selalu diwarnai suara Illahiyah. Wallahualam.
Penulis: Moh Yajid Fauzi S.H (Duta Damai Jawa Timur)