Oleh: Akbar Trio Mashuri
Menyambut perayaan kemerdekaan Republik Indonesia menjadi momen bahagia, spirit perjuangan para pahlawan mengalir ke darah seluruh masayarakat Indonesia. Saat ini kondisi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mengalami penurunan ekonomi, semua kondisi mengalami kekurangan dan perlu adanya gotong-royong saling membantu untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat luas.
Sungguh ironi spirit kemerdekaan yang mulia harus terkotori oleh momen intoleransi antaragama di masyarakat. Pada tanggal 8 agustus 2021 momen memilukan bagi warga non muslim Gresik pemakaman bayi ditolak warga sekitar. Bagaimana kita bisa menjadi manusia kalau masih mementingkan ideologi yang menyengsarakan manusia lain?
Walaupun kita tidak menjadi pelaku kejadian dan mendiamkan kejadian ini terus terulang, secara tidak langsung kita juga menjadi pelaku kejahatan. Perlu semangat membangun untuk memberikan edukasi bagaimana founding father memperjuangkan bangsa yang tidak membeda-bedakan antargolongan, suku, ras, dan agama. Semua mempertaruhkan nyawa untuk bertarung dengan penjajah agar Indonesia bisa merdeka.
Bukan malah sebaliknya, kejadian ujaran kebencian, diskriminasi kelompok dan rasisme terus-menerus terjadi baik di lingkungan masayarakat ataupun media online. Memakai akal sehat untuk berfikir apakah perbuatan yang dilakukan baik atau buruk bagi orang lagi dan membuka hati untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Perjuangan yang harus dilewati oleh Indonesia untuk merdeka bukan lagi dijajah negara lain, melainkan berjuang untuk hidup dan mengatasi pandemi agar kembali seperti normal. Saling bantu merupakan cara efektif untuk tetap survive perlahan bisa melewati pandemi yang masih belum menemukan ujung.
Dampak Pandemi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah, melainkan semua mengalami hal sama. Memberikan bantuan logistik berupa bahan-bahan dapur, sembako, makanan instan dan uang bagi masyarakat memang benar-benar membutuhkan cara terbaik untuk merefleksikan kemerdekaan Indonesia ke-76.
Bukan usia anak-anak dan dewasa lagi, usia 76 tahun sudah menjadi nenek dan kakek. Seharusnya tidak lagi berpikir seperti kekanak-kanakan mementingkan pribadi dan ideologi masing-masing. Berpikir dewasa dan ketenangan terhadap permasalahan yang dialami, itu ciri usia menginjak lansia. Supaya kejadian intoleransi dan diskriminasi serupa tidak lagi terulang kembali.
Sila ke-5 sudah memberikan kita gambaran keadilan dan hak bagi semua elemen di masayarkat tanpa terkecuali, yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ditambah sila ke-2 memberikan gambaran terkait eika yang harus kita bangun bersama, berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan Beradab.”
Budaya ramah senyum dan gotong royong menjadi icon Indonesia. Cara-cara humanis juga diterapkan untuk menegakkan regulasi, bukan hanya sekedar mementingkan diri sendiri sehingga orang lain merasakan dampak negatif.
Dengan berlandaskan akal sehat dan budaya saling membangun, ditambah semangat kemerdekaan, kejadian-kejadian merugikan di kondisi pandemi seperti memusnahkan toko, merampas grobak dagang kaki lima, dan menembak air pemadam kepada masayarakat agar tidak terulang kembali.
Teringat pesan para pejuang agar terus bersama untuk memajukan bangsa indonesia tanpa ada rasa diskriminasi dan toleransi. Karena Indonesia bukan agama Islam saja, melainkan ada Hindu, Budha, kristen, Khonghucu dan aliran kepercayaan. Indonesia bukan hanya soal suku jawa, tetapi juga Suku batak, Bugis, Sasak, dan sebagainya.
Bukan hal yang mustahil untuk keluar dari kondisi pandemi dan memiliki kemakmuaran, jika masyarakat semua memberikan bantuan dan saling menjaga tanpa melihat dari latar belakang apa.
Selayaknya kita belajar dari apa yang dilakukan Gusdur dulu dan merefleksikan kemerdekaan ditengah pandemi, yakni dengan memanusiakan manusia. Melihat manusia bukan lagi soal agama, tetapi saudara manusia yang harus dijaga.