Oleh: Nur Kholis
Kelompok 2
Sebagai negara besar yang majemuk, Indonesia mempunyai banyak kekayaan mulai dari bahasa, tradisi, dan kebudayaan. salah satu tradisi dan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah selamatan (selametan). Kata selamatan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti terbebas dari bahaya, malapetaka, bencana, tidak kurang suatu apapun, tidak mendapat gangguan dan kerusakan. Sedangkan selamatan dalam KBBI memiliki makna kenduri untuk meminta keselamatan.
Tradisi selamatan merupakan salah satu kebiasaan yang umum dilakukan oleh masyarakat Jawa. Hal itu sebagai wujud rasa syukur terhadap anugerah atau karunia yang diberikan Tuhan yang Maha Esa kepadanya. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, tradisi selamatan merupakan suatu kegiatan pengiriman doa bagi yang melaksanakan selamatan.
Dengan kata lain selamatan atau selametan merupakan sebuah tradisi ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa guna mendapatkan perlindungan dan keselamatan bagi dirinya yang bersangkutan. Clifford Gertz (1969:126) pernah mempublikasikan tulisan hasil dari penelitiannya mengenai tradisi selamatan sebagai tradisi sederhana dalam sistem keagamaan masyarakat Jawa.
Kegiatan selamatan biasanya dihadiri oleh tokoh desa, tokoh adat, para pemuka agama, tetangga terdekat, saudara, dan keluarga inti. Setelah selesai kegiatan selamatan, para tamu kemudian mendapatkan suguhan dari aneka makanan basah seperti nasi, lauk pauk, buah-buahan, hingga aneka macam kue dan roti. Atau makanan kering seperti mie, saus sambal, saus tomat, lalapan yang sering kita sebut sebagai berkat.
Tradisi selamatan dipandang sebagai cara yang dapat menghindarkan diri dari bahaya dan malapetaka. Upacara selamatan merupakan konsep yang bersifat universal, yakni seluruh tempat sudah pasti mempunyai nama yang berbeda, ini semakin menguatkan bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar yang berada di luar tubuh manusia dan ia yang mengendalikan setiap manusia.
Secara sederhana, kegiatan selamatan diawali dengan membaca doa bersama, dalam keadaan duduk bersila di atas tikar yang melingkari nasi kuning atau tumpeng dengan lauk pauk yang telah disediakan (apabila ada). Sesaji yang disiapkan guna mengiringi prosesi upacara selamatan itu, dimaksudkan seperti doa. maknanya adalah sebagai wujud rasa syukur kepada yang Maha Pencipta atas segala berkah, kebaikan, kesehatan, dan keselamatan serta rezeki yang telah diberikan.
Upacara selamatan dalam pandangan Hildred Geertz cenderung dikerjakan oleh kaum Islam Abangan, sedangkan kaum santri (putihan) cenderung menolak. Kecuali unsur-unsur kesyirikan yang terdapat didalamnya dihapuskan terlebih dulu seperti pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang atau dewa-dewa. Dan seluruh permohonannya diganti kepada Allah yang Maha Esa.
Tradisi selamatan, diyakini bahwa yang hadir bukan hanya sekedar orang-orang yang masih hidup, melainkan juga roh-roh dari para pendahulu. Sebenarnya tradisi selamatan sudah dikenal sejak zaman Hindu Budha, animisme dan dinamisme dulu. Tetapi setelah masuknya para Wali yang menyebarkan Islam di Nusantara perlahan mengubah ajaran yang bertentangan dengan Islam dan menyelipkan nilai-nilai keislaman di dalamnya. Ini kemudian yang membuat selamatan menjadi tradisi yang popular terutama di kalangan masyarakat Jawa.
Upacara selamatan selain memiliki dimensi religiusitas, juga memiliki nilai-nilai gotong-royong. Karena dalam kegiatan selamatan seluruh kalangan masyarakat dapat ikut untuk berpartisipasi. Tanpa melihat latar belakang agama, pekerjaan, status sosial bahkan darimana ia berasal. Semua bisa bergabung untuk bersama-sama merayakan acara selamatan.
Dalam masyarakat, perayaan tradisi selamatan tidak memandang apa agama dan latar belakangnya. Tetapi lebih memandang kepada nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan. Siapapun dia (manusia) dan dari manapun asalnya ia dapat ikut serta dalam perayaan. Ini semakin menegaskan bahwa keragaman kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia merupakan modal besar untuk merajut nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Kemajemukan kearifan lokal seperti tradisi selamatan memiliki esensi sebagai penguat rasa gotong royong dalam diri masyarakat.
Dimana semua masyarakat tumpah ruah menjadi satu dalam perayaan selamatan. Tanpa memandang perbedaan. Yang ada adalah satu dalam suka cita dan satu pengharapan, yakni terciptanya kehidupan yang lebih baik di masa depan bagi lingkungan maupun untuk diri masing-masing.
Selamatan dilaksanakan hampir di setiap kejadian besar seperti khitanan, kelahiran, pernikahan, pindah rumah, hingga kematian. Geertz kemudian lebih lanjut mengelompokkan selamatan menjadi empat aspek utama.
Pertama, selamatan yang dilakukan dalam rangka kelahiran, khitanan, acara pernikahan, hingga peristiwa kematian. Kedua, upacara selamatan yang berkaitan dengan peringatan hari besar Islam seperti hari raya Idul Fitri, Maulid Nabi dan lain sebagainya. Ketiga, bersih-bersih atau ruwat desa yang berkenaan dengan integrasi sosial. Keempat adalah kejadian yang kurang biasa contohnya kesembuhan dari penyakit, hajatnya terpenuhi dan yang lain.
Adanya upacara selamatan ini mempunyai kemampuan guna merekatkan rasa persatuan dan kesatuan serta gotong-royong dalam kehidupan sosial. oleh karena itulah betapa pentingnya menjaga dan melestarikan agar tradisi selamatan dapat terus digalakkan ditengah era disrupsi seperti sekarang dan juga kedepan. Sebagai narasi positif guna meneguhkan komitmen gotong-royong serta menegaskan rasa nasionalisme dan patriotisme kita kepada bangsa dan negara.