Beberapa bulan yang lalu, saya heran dengan penampilan salah satu teman. Dulu waktu menginjak Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dia berpenampilan serba buka-bukaan, tapi ketika tak sengaja berpapasan, model pakaiaanya menutupi seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan dua mata. Supaya tidak larut dalam rekaan-rekaan dan prasangka yang bukan-bukan. Saya menanyakan kepada salah satu tetangga, namun jawabanya hanya sebatas asumsi-asumsi sehingga saya kurang puas dan berinisiatif menanyakan kepada orang yang saya kira pernah bersahabat dengan dia. Apa yang melatar belakangi perubahan drastis tersebut?. Bukanya menjawab, orang ini malah tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Orang disebelah saya lantas bertutur tentang fenomena hijrah yang dilakukan teman SD saya tersebut. Mendengar penuturan orang ini, saya memaklumi, kemudian kembali mengajukan pertanyaan padanya. “apakah selain perubahan model pakaian ada hal yang merisaukan anda?”. Dia kembali mengerutkan dahi sambil tersenyum untuk yang kedua kalinya lantas menjawab: “iya, mas”. Yang membikin saya risih dan tidak setuju adalah sikap dia yang menganggap orang lain salah dan sesat bilamana tidak berperangai seperti dia, bahkan menurutnya banyak tradisi-tradisi yang dulu zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada lalu dia klaim sesat dan bertentangan dengan agama Islam serta Bangsa Indonesia ini seharusnya menggunakan sistem kenegaraan dan hukum Islam, bukan yang berlaku saat ini. Mendengar jawaban seperti saya kembali tersenyum.
Manhaj takfiriyah adalah doktrin dan sikap yang menganggap orang lain sesat dan salah (mengkafirkan), sehingga orang dengan mudah merasa benar sendiri tanpa dia mengerti bahwasanya doktrin seperti adalah embrio dari sikap intoleransi yang berujung pada tindakan radikalisme.
Ada beberapa poin yang bisa dijadikan diskusi panjang dari obrolan saya diatas, namun secara sederhana saya akan mengulas beberapa poin tadi. Pertama, adalah tentang menganggap orang lain yang tidak berpakaian seperti dirinya itu salah. Umat Islam mengenal beberapa madzhab yang digunakan sebagai rujukan beragama. Dalam hal fikih, mayoritas umat Islam di Indonesia menggunakan rujukan madzhab Imam Syafii, sehingga lumrah dan wajar kalau banyak perempuan di Indonesia menampakkan wajah alias tidak bercadar. Ini di perbolehkan dalam Islam tergantung madzhab yang di anut lalu dipraktekkan. Ada beberapa imam yang berpendapat beda dengan imam syafii. Dan hal tersebut tidak bisa ditabrakan karena sama-sama mempunyai landasan yang kuat.
Dari hasil paparan sederhana saya diatas, lantas mari kita bernalar dengan simpel namun tidak bertententangan dengan syariah, Islam memerintahkan untuk menutup aurot, namun penjelasan sampai mana batas menutup aurot itu banyak pendapat dari para pakar hukum Islam “khilafiyah”. Sehingga yang perlu disalahkan adalah mereka yang belum menutup aurot bukan malah menyalahkan yang sudah menunup aurot. Namun kita tidak boleh hanya menyalahkan, lebih bagus lagi kalau diberi arahan sampai kemudian menutup aurot. Oleh karena itu tidak bagus kiranya kita mudah meyalahkan tanpa mengetahui lebih mendalam akan hal itu.
Kedua, adalah menyalahkan tradisi-tradisi yang berkembang di beberapa daerah dan sampai saat ini masih dilestarikan. Tradisi merupakan adat-istiadat yang diwariskan leluhur secara turun-temurun. Tanpa menulis tradisi-tradisi apa yang dianggapnya sesat dan salah.mari kita bernalar dengan sederhana. Islam menyuruh untuk “melakukan kebajikan dan meninggalkan kemungkaran”. Contoh mudahnya tradisi seperti “sedekah bumi” yang dikemas dengan membagi-bagikan makanan kepada orang yang kurang mampu secara ekonomi apakah itu jelek? Tentu tidak. Bahkan itu diwajibkan oleh Islam dengan adanya seruan zakat,dan dari kedelapan orang yang berhak menerima zakat adalah mereka yang fakir dan miskin.
Tradisi merupakan warisan para nenek-moyang yang sangat perlu dilestarikan dalam upaya menjaga kearifan lokal. Bila kita menulis dan mendeskripsikan secara rinci tradisi di Indonesia sangat amat banyak dan kesemuanya menjadi kebudayaan yang signifikan dalam menjaga keberagaman bangsa Indonesia. Sesat-tidaknya, bagus-jeleknya tradisi tergantung dari tradisi tersebut bertentangan dengan syariah Islam apa tidak dan tujuan dari pada tradisi tersebut. Dan Islam sangat memberi ruang yang lebar terhadap tradisi dan kebudayaan.
Ketiga adalah menganggap bahwa seharusnya negara Indonesia berbentuk negara Islam dan harus menerapkan sistem dan hukum Islam. Anggapan diatas benar tapi tidak baik. Mengapa demikian?. Tujuh puluh dua tahun yang lalu ketika para perjuang merebut kemerdekaan, bukan hanya pejuang yang beragama Islam saja yang berperang dan berjihad, namun banyak pejuang yang bukan dari agama Islam. Lebih dari itu masyarakat Indonesia juga banyak yang memeluk agama selain Islam. Jika kita menerapkan bentuk negara dan hukum yang berlandaskan Islam, lantas bagaimana dengan dengan saudara-saudara kita yang bukan dari Islam?. Apakah mereka harus di usir dari wilayah Indonesia?, padahal banyak dari mereka yang turut berjuang dan meneteskan darah untuk merebut kemerdekaan gangsa Indonesia.
Indonesia adalah negara kepulauan sehingga banyak ras,etnis,suku dan agama yang berkembang. Salah satu yang dijadikan acuan mendirikan suatu negara sudah pasti melihat latar belakang tersebut sehingga kemajemukan tetap di pelihara dan terciptalah bentuk negara NKRI “Negara Kesatuan Republik Indonesia”, bukan negara kristren Indonesia, negara hindu Indonesia atau yang lainnya. Ideologi negara Indonesia adalah Pancasila yang bersemboyan Bhiennika Tunggal Ika dan dasar hukumnya adalah Undang-Undang Dasar 1945. Nilai-nilai dari seluruh agama dijadikan rujukan untuk membuat undang-undang dasar tersebut.
Penulis: Ahmad Qomaruddin – Mahasiswa Jurusan Biologi- Fakultas sains dan teknologi- UIN Maulana Malik Ibrahim Malang