Gudikan adalah penyakit kulit seolah menjadi identitas santri, kalau belum gudikan maka belum sah dikatakan menjadi santri. Begitulah kiranya pandangan orang atau stigma terhadap kaum sarungan. Stigma yang cukup memilukan di dunia kepesantrenan.
Penyakit kulit itu seolah menjadi identitas yang menyatu dalam jiwa santri. Santri itu pasti gudikan, hidupnya kurang bersih dan sering makan dalam satu tempat. Akankah stigma itu terus melekat dalam diri santri?
Hal di atas menjadi pelajaran penting bagi para santri dalam mencitrakan dirinya. Akankah santri menerima fakta bahwa santri gampang kena penyakit kulit. Bagaimana jika santri membicarakan kesehatan?
Mereka yang belajar ilmu agama, baik bermukim atau tidak, tetap bisa dikatakan santri. Karena peranannya dalam membangun bangsa sangat signifikan. Perjuangannya dari melawan kolonialisme hingga merawat kebangsaan.
Kaum sarungan kini dihadapkan dengan tantangan kesehatan, terlebih ditengah pandemi. Jikalau dulu santri banyak yang memilih menjadi pendidik, guru, atau lainnya, santri kini mulai berdiaspora menjadi berbagai profesi. Tentu itu melalui kebijakan atau teladan Kiai sebelumnya, sebagaimana yang pernah diajarkan oleh KH. Wahid Hasyim.
Santri bisa menjadi apapun, tidak hanya berkutat menjadi guru agama. Modernisasi gagasan dan perilaku santri perlahan mulai tumbuh dan berkembang. Santri mulai banyak yang belajar ilmu sosial atau alam. Di sanalah santri mulai berdiaspora menjadi kekuatan-kekuatan bangsa.
Keterbukaan akses pendidikan terhadap kaum sarungan membawa kemajuan bagi dunia pesantren, khususnya pendidikan islam. Santri tidak hanya diwajibkan belajar ilmu agama. Akan tetapi, santri juga berkewajiban belajar ilmu sosial dan alam. Tidak sedikit pula santri yang menjadi ahli dibidang kesehatan atau dokter.
Kesadaran santri dalam kesehatan juga sangat penting, di mana bisa meluruskan stigma terhadap santri yang hidupnya tidak bersih. Bahwasannya gudikan bukanlah budaya yang baik dalam diri santri. Karena, santri meyakini bahwa “kebersihan sebagian dari iman”. Kebersihan itu lah yang menjadi kekuatan teologisnya.
Dari sanalah kita ketahui, bahwa tanggung jawab santri tidak hanya tanggung jawab teologis kepada Tuhan. Tanggung jawab santri lebih besar dari itu. Santri adalah serpihan kekasih yang memiliki kepedulian sosial dan kecintaan terhadap alam. Santri adalah wali yang lain. Jika wali ada pewaris para nabi, maka santri adalah pewaris para wali. Sebagaimana nilai kewalian, santri dituntut untuk mengasihi sesama dan lingkungan. Dalam hal ini, santri juga memiliki tanggung jawab mewujudkan masyarakat yang sehat dan kuat.
Beberapa kiai atau santri sudah banyak yang belajar ilmu kedokteran, kesehatan masyarakat, dan ilmu eksak. Dari sanalah, terhimpun kekuatan santri dalam tanggung jawabnya kepada kesehatan masyarakat. Sebagaimana, akhir ini pesantren sudah banyak yang memiliki Puskesmas Pesantren, atau yang dikenal Puskestren. Bahkan memiliki klinik kesehatan sendiri.
Santri di tengah pandemi ini juga memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar melakukan habitat hidup sehat. Kebiasaan hidup sehat di pesantren bisa diterapkan secara massal, misalnya dengan tetap menjaga protokol kesehatan, makan yang teratur, berolahraga, dan memakai masker saat beraktifitas.
Literasi kesehatan juga bisa dimasukkan dalam kurikulum pesantren. Pengetahuan akan pola hidup sehat hingga bagaimana cara mengenali penyakit dan lain sebagainya. Dunia pesantren kini memiliki ditantang untuk memberikan sumbangsih kebangsaan melalui peran dan keikutsertaan dalam merawat kesehatan masyarakat.
Semangat literasi kesehatan sudah diajarkan oleh ulama islam terdahulu; seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Jabir Ibn Hayyan, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, beberapa manuskrip ulama Nusantara juga menyebutkan hal demikian. Bahwa, tradisi intelektual muslim juga pernah berjaya dalam kajian ilmu eksak atau kesehatan.
Kita sebagai santri masa kini bertugas menggali akar keilmuan, menyerap semangat santri cendikia, dan berakhlaqul karimah. Santri yang membiasakan diri membaca dan meneliti. Santri yang peduli terhadap kesehatan dan alam.
Penulis: Al Muiz Liddinillah (Duta Damai Jawa Timur)