“Pembina Pramuka kok ajarkan Islam yes, kafir no. Iniwong mendem(orang mabuk). Nyekoinya gimana (memberikan minumannya gimana),” kata Gus Mus dalam dialog kebangsaan bertajuk Merawat Persatuan Menghargai Keberagaman di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakir di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Selasa, 14 Januari 2020.Sebagaimana yang telah dilansir dari tempo online.
Ungkapan itu disampaikan oleh Kiai Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin terhadap sikap anti-keberagaman yang dilakukan oleh oknum pembina Pramuka di Yogyakarta. Gus Mus menyebutkan sikap pembina pramuka yang merendahkan keberagaman itu menyakitkan dan menyalahi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta. Dia prihatin dengan sikap pembina pramuka itu yang justru orang yang beragama.
Kejadian itu meresahkan banyak orang, khususnya para orang tua. Pendidikan sebagai ruang bertumbuh kembang hati dan pikiran anak teracuni dengan doktrin yang terselip dalam sebuah yel-yel yang anti-keberagaman, anti-kebhinekaan. Bahkan, yel-yel anak sholeh itu pun bernada mendeskriditkan agama lain, agama non islam.
Di sanalah pentingnya pendidikan agama secara substantif. Memang, bernyanyi atau bermain adalah salah satu medium pendidikan anak yang paling efektif. Akan tetapi, akan absurd dan tidak jelas jika nilai pendidikan yang diselipkan dalam yel-yel itu jauh dari pendidikan agama yang ramah.
Akhir ini memang banyak didirikan sekolah terpadu, modern atau berbasis islam. Pertanyaan besarnya, apakah dengan hadirnya sekolah-sekolah model itu, telah mampu membuat kurikulum yang mengajarkan anak dengan ajaran agama yang benar? Ajaran agama islam khususnya, yang dapat memicu tumbuh kembang anak yang toleran dan berbudaya.
Sekolah dalam hal ini telah banyak berkontribusi mengajarkan pengetahuan agama, mulai sejak usia anak. Guru-guru dengan asyik mengajarkan ajaran agama dengan doktrinasi langsung. Hafalan-hafalan pun diwajibkan kepada anak, agar mengenal Tuhannya, utusanNya, hingga kitab sucinya.
Rapalan itu membuat anak didik hafal dan mampu menjawab pertanyaan gurunya. Sebatas menjawab pertanyaan gurunya, atau tidak malu di hadapan temannya yang dengan lancer menyebutkan pengetahuan agamanya. Belajar dari kasus seperti itu, menjadikan kita kembali berfikir, sejauh mana pentingnya belajar teologi, khususnya bagi anak.
Teologi bagi anak adalah teologi kegembiraan, teologi yang memicu anak untuk kreatif. Pengetahuan ketuhanan yang merasuk pada diri anak itu adalah kebahagiaan untuk bermain dan mengembangkan potensinya masing-masing. Teologi yang perlu dicekokkan kepada anak adalah bagaimana ia mampu mengenal tuhannya dengan relasi anak-anak, persahabatan ala anak-anak, dan kasih sayang antar anak-anak.
Anak usia dini penting untuk diajarkan agama secara substantif. Sebagaimana dalam islam, nabi Muhammad telah mencontohkan relasi pendidikan yang substantif, yakni akhlak. Pendidikan akhlak adalah pendidikan moralitas. Moralitas ketuhanan dan kemanusiaan.
Moral adalah hal yang utama dibutuhkan anak. Bahkan dalam sebuah kisah bijak, moralitas ini tidak hanya bisa sekedar diucapkan. Moralitas perlu untuk diteladankan langsung melalui perilaku, melalui teladan yang baik dari setiap apa yang guru kerjakan.
Bahkan untuk mengingatkan seorang murid dalam kealpaan, itu saja tidak dianjurkan untuk menyampaikan hikmah dengan kekerasan. Guru bisa menegur kekhilafan anak didik dengan tealadan. Teladan yang keluar dari lisan atau pun tindakan, sehingga ujaran yang bernada melarang tidak efektif dengan sebuah uswah hasanah.
Islam secara subtantif adalah agama kasih sayang. Agama cinta kasih kepada semua makhluk, apapun agama. Oleh karena itu, sangat ironis jika kemudian ditemukan kembali oknum guru yang mengajarkan agama tanpa kepekaan keberagaman.
“Islam yes, kafir no,” merupakan ungkapan yang agaknya membodohi anak. Bagaimana bisa anak yang islamnya auto dari orang tua diajarkan agama model seperti itu. Islam adalah agama yang menerima perbedaan. Baiknya, islam yang sudah dianut oleh anak dikembangkan tingkatnya agar dia mencintai agamanya, dengan mencintai makhluk lainnya.
Bagaimana pun, guru adalah pendidik yang bertanggung jawab atas pendidikan, apalagi pendidikan usia dini. Anak adalah samudera yang jernih. Dengan mendoktrin ajaran kebencian, maka akan membuahkan generasi bangsa yang uring-uringan dan mudah menebar pertengkaran, dan dengan itu dapat mengotori samudera.
Hal itu sangat jauh dari misi islam itu sendiri, islam sebagai agama yang damai dan rahmat bagi semua. Islam yes adalah islam yang dianut oleh muslim yang tidak merasa agamanya paling benar dan gampang mengafirkan agama lain. Islam yes adalah agama orang muslim yang menganggap umat agama lain adalah saudara.
Akan baik jika jargon itu diubah menjadi ‘Muslim yes, Cinta Semua’. Orang beragama islam yang baik (yes) adalah orang islam yang mencintai semua manusia, apapun agamanya. Muslim teladan adalah muslim yang menghargai keberagaman, toleransi, dan meneladani sifat kenabian lainnya.
Penulis: Miftahul Fahmi (Alumnnus UIN Surabaya jurusan Dakwah)