Tulisan ini didasarkan dari jurnal yang berjudul “Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan” Oleh Wasisto Raharjo Jati (2013). Kearifan lokal merupakan sebuah tradisi sekaligu alat pengendali konflik, seperti yang terjadi di Maluku. Meski akar permasalahan adalah perebutan sumber daya, baik ekonomi, politik maupun kedudukan. Namun yang seringkali yang menjadi center adalah agama.
Jika dilihat secara mendalam, agama digunakan sebagai faktor pendukung yang menyediakan legitimasi dan identitas politik untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, sehingga agama menjadi kambing hitam pada kasus ini. Konflik ini telah mencapai kesepakatan dalam perjanjian Malino tahun 2002 dan 2003, konflik berkepanjangan ini dimulai sejak tahun 1999. Potensi konflik yang mengakar dalam masyarakat dapat dikurangi melalui nilai-nilai kearifan lokal, salah satu contohnya dalam tradisi pela gandong.
Tradisi ini sebagai kearifan lokal yang mempunyai peran penting dalam rekonsiliasi dalam menyatukan kembali solidaritas masyarakat yang terpecah selama konflik. Representasi birokrasi juga memegang peran utama dalam mereduksi kesenjangan sosial antar elemen masyarakat Maluku terutama porsi birokrasi dari elemen masyarakat Islam dan Kristen.
Konflik ini dimulai sejak zaman kerajaan islam ternate dan tidore, saat portugis dan spanyol berusaha memisahkan kedua wilayah ini, hubungan pela rutin digencarkan untuk memperkuat solidaritas masyarakat dalam menghapus rasa persaingan antar pulau. Kondisi tersebut berubah seiring kekuatan imperialis mulai masuk ke Maluku, misionarisasi Kristen Protestan yang dibawa oleh kolonial Belanda terhadap warga Tidore, menjadi upaya Belanda dalam mengurangi pengaruh Ternate yang masih kuat di Maluku.
Berdasarkan permasalahan tersebut masyarakat Maluku secara tidak langsung terpisah baik secara politik maupun sosio-keagamaan dimana Maluku utara berada dalam pengaruh Kerajaan Islam Ternate yang dinamakan “Jazirah Leihitu” sedangkan Maluku selatan yang berada dalam pengaruh misionarisasi Kristen Belanda yang dinamakan “Jazirah Leitimur”.
Menguatnya sensitivitas keagamaan menjadi akibat dari adanya dominasi kedudukan dan perekonomian yang menguasai wilayah Maluku sehingga atensi kebencian antar agama semakin memuncak. Semasa pemerintahan kolonial banyak mengangkat warga Maluku Kristen menjadi birokrat (ambtenaar) maupun militer Belanda karena dianggap mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial ketika zaman republik. Kaum Kristen kemudian dicap sebagai separatis oleh pemerintah pusat karena banyak diantaranya yang tergabung dalam RMS (Republik Maluku Selatan). Pada tahun 1999 dimana rasa frustasi kaum Maluku Kristen selama Orde Baru berusaha dilampiaskan kepada kaum Islam yakni Maluku Islam maupun pendatang BBM (Buton, Bugis, dan Makassar).
Oleh karena istilah local genius yang digunakan oleh penulis dalam jurnal ini sangat tepat sebagai upaya, mereduksi segregasi yang ada sekaligus memperkuat tali persaudaraan, dengan prinsip “kitorang samua basudara” (kita semua adalah bersaudara). Gerakan katong basudara, mendekati tokoh masyarakat yang berpengaruh selama berkonflik seperti halnya negeri Siri-Sori (Islam-Kristen), Tamilou (Islam), dan Hutumuri (Kristen) yang selama berkonflik memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
Mereka memiliki ikatan darah yang sama karena dilahirkan oleh “rahim yang sama” yakni daerah yang sama sehingga hubungan antar negeri tersebut seperti layaknya kakak-adik. Meskipun teknis dari pela gandong adalah meminum tuak yang dicampur dengan darah, sebagai simbol orang yang telah meminum darah tersebut berarti telah menjadi saudara.
Dalam hal ini kearifan lokal menjadi penanda sebuah komunitas sekaligus menjadi alat untuk membangun relasi antar agama dan etnis yang ada dalam masyarakat Maluku. Meskipun kunci dari perdamaian adalah kesetaraan dalam bidang birokrasi dan ekonomi, sehingga beberapa perubahan terkait kebijakan harus diatur sedemikian rupa untuk memperoleh porsi yang seimbang dalam roda pemerintahan.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi (Duta Damai Jawa Timur)