Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan segenap manusia, dan barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh umat manusia.
Urain di atas merupakan penggalan dari ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat ke-32. Al-Qur’an sudah dengan jelas menggambarkan konsekuensi dari memelihara persaudaraan, kemanusiaan, atau merusak, membunuh persaudaraan, meski berawal dari satu orang. Ada sebuah hitungan yang jelas memelihara atau membunuh satu orang, berarti sama dengan memelihara atau membunuh umat manusia.
Meski demikian, dilansir dari Barangsiapa Memelihara Kehidupan, Nirkekerasan dan Kewajiban Islam karya Chaiwat Satha-Anand, 2015, PUSAD, Dia menjelaskan bahwa bobot memelihara dan membunuh satu orang bukanlah sama. Menurutnya, Al-Qur’an menetapkan syarat bolehnya tindakan tersebut; pembunuhan hanya boleh dilakukan apabila yang terbunuh telah melakukan pembunuhan atau berbuat kerusakan di muka bumi. Syarat yang ditetapkan di sini menyangkut dua dosa terberat dalam islam; pembunuhan dan perusakan di muka bumi. Sementara itu, perintah memelihara kehidupan tidak bersyarat.
Dengan demikian, bukankah dapat dikatakan bahwa memelihara kehidupan, yang tak bersyarat, jauh lebih utama ketimbang mengambil nyawa dengan syarat yang berat.
Berita tentang pembunuhan kejam kita dengar dan lihat seksama atas kekejaman Israel dan Palestina. Sudah puluhan ribu orang terbunuh di Palestina, mulai dari anak-anak, perempuan, dan lainnya. Bangsa dunia mengutuk Israel dan bersolidaritas untuk Palestina. Genosida itu memukul umat beragama atau bangsa dunia, terlebih menjelang hari toleransi dunia dan perdamaian dunia dalam dekat ini.
Berbicara tentang toleransi, sejauh mana toleransi menggaung dari diri kita, orang lain, komunitas, dan bangsa-bangsa? Saya kira toleransi dan perdamaian akan menemukan ancaman yang serius bagi bangsa-bangsa jika mayoritas dari kita diam atau membisu.
Fahruddin Faiz dalam momen bedah buku Peace Movement in Islam karya Juan Cole beberapa hari lalu di mimbar Bentang menegaskan pesan yang ingin disampaikan Juan Cole dalam buku itu adalah mengajak semua orang bersuara, mengambil sikap dan bukan berarti reaktif terhadap kondisi kebangsaan hari ini, baik di dunia maya atau nyata.
Nilai toleransi dan perdamaian bukanlah nilai yang pasif. Keduanya merupakan nilai yang perlu diaktivasi lebih untuk bertindak sebagai bagian dari Peace Movement. Bahkan gerakan perdamaian, bina damai, atau peace building ini tidak serta merta sebuah gerakan ketika ada pertikaian atau peperangan. Lebih dari itu, gerakan ini merupakan gerakan pencegahan dan penanggulangan.
Toleransi merupakan salah satu sikap memelihara kehidupan seseorang. Ketika kita menghargai orang lain berarti kita turut serta memelihara kehidupan banyak orang. Sebagaimana terintegrasi pada surat Al-Maidah di atas.
Meski derajat memeliharanya berbeda yang hanya bersikap toleran secara pasif, aktif, bahkan progresif. Toleransi pasif berarti sikap menghargai orang lain yang hanya sekedar memahami bahwa ada perbedaan satu sama lain. Toleransi aktif berarti bersikap menghargai satu sama lain dalam aspek yang saling mendampingi dan tolong menolong. Kemudian toleransi pada level tertinggi adalah sikap toleransi progresif.
Seperti apakah sikap toleransi progresif itu? Hemat penulis, sikap toleransi progresif ialah sikap yang selalu menerima perbedaan, berani berdialog satu sama lain, berani bergandeng tangan melawan ketidakadilan dan penindasan, dan berani mengambil peran aktif mewujudkan perdamaian dunia.
Ketika dihadapkan pada situasi perang seperti ini bagaimana umat beragama menyikapinya? Sikap toleransi dan perdamaian seperti apa yang ingin kita kerjakan? Pembelajaran apa yang bisa kita ambil?
Beberapa sumbangan pemikiran bidang perdamaian dan rekonsiliasi diantaranya Abu Nimer, Qamarul Huda, Amitabh Pal, dan Jeffry R. Halverson menekankan pentingnya nirkekerasan dan perdamaian dalam setiap perang yang terjadi, sebagaimana yang dijelaskan Chaiwat Satha-Anand dalam bukunya.
Abu Nimer mencerminkan perspektif palestina yang langka dengan tiga studi kasus dari konteks arab. Ul Huda mengeksplorasi khazanah keislaman, nirkekerasan dan bina-damai dalam rangka mencari peluang perubahan-perubahan damai dalam konteks Muslim. Pal, seorang wartawan India memberikan sanggahan kuat terhadap persepsi umum tentang islam dan nirkekerasan dengan menyoroti peran tradisi sufi yang toleran dalam islam dengan menggunakan contoh aksi protes damai Muslim di Kosovo, Pakistan dan Palestina/Israel.
Halverson, seorang profesor berkebangsaan Amerika di bidang studi islam dari Arizona State University yang berpendapat bahwa dasar nirkekerasan sudah ada dalam islam dan jihad nirkekerasan bisa dilihat sebagai modus aktif transformasi sosial. Ia juga menunjukkan teladan nirkekerasan di dunia Muslim modern seperti Abdul Ghaffar Khan atau “Gandhi dari perbatasan” (Frontier Gandhi).
Oleh karena itu, memelihara kehidupan agar lebih damai lebih efektif dengan pendekatan nirkekerasan. Konsekuensinya sangat jelas, kerugian yang diakibatkan oleh tindak kekerasan sangatlah mahal, akan tetapi tidak ada kerugian secuil pun dari aksi nirkekerasan untuk memelihara kehidupan umat manusia. Perdamaian adalah relasi toleransi umat manusia yang tidak menghendaki sedikitpun kekerasan.
Penulis : Al Muiz Liddinillah
Editor : Akbar Trio Mashuri