‘’Semua agama adalah sekaligus agama dan sebuah agama; sang agama karena di dalamnya terkandung kebenaran dan cara untuk mencapainya; sebuah agama karena penekanannya terhadap aspek tertentu dari kebenaran yang disesuaikan dengan kebutuhan spiritual dan psikologis manusia, kepada siapa agama diturunkan’’ (K.H Abdurahman Wahid: Islam Dalam Cita dan Fakta, 2015). Islam adalah agama terakhir dan terdahulu, dikatakan terakhir karena Al-Qur’an sebagai kitab sucinya adalah kitab penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Dikatakan terdahulu karena dalam ilmu hukum islam terdapat istilah Syar`u Man Qablana yang artinya hukum-hukum Allah yang dibawa oleh para Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan berlaku untuk umat mereka pada zaman itu.
Berbicara tentang hukum islam maka tak lepas dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dua sumber hukum islam tersebut digunakan sebagai landasan pokok dalam berkehidupan oleh umat islam. Sebagai agama yang universal, tidak bisa dipungkiri jika Al-Qur’an dan Al-Sunnah ditafsirkan secara beragam oleh para tokoh-tokoh islam sesuai dengan alirannya masing-masing. Dari perbedaan tersebut terkadang bukan malah menjadikan islam sebagai agama yang pluralis, tetapi menampakkan islam sebagai agama yang eksklusiv. Nabi Muhammad Saw. dalam hadist pernah meramalkan bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan, meski masih diperdebatkan tentang siapa saja dari 73 golongan tersebut tetapi saat ini keautentikan hadist tersebut kini mulai terlihat.
Kemunculan kelompok islam itu diawali dari pecahnya pengikut khilafah keempat Ali Bin Abi Thalib yaitu Khawarij yang tidak setuju akan adanya Tahkim (arbiratse), kemudian muncul kelompok-kelompok baru seperti Syi’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qodariyah, Asyariah, Maturidiah dsb. dengan perbedaan cara pandang dalam menjalankan syari’at islam. Saat dimana umat islam di seluruh dunia sudah memasuki era modern dan permasalah semakin kompleks, ada beberapa kelompok seperti ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) yang pada 2014 mendeklarasikan berdirinya negara Khilafah di Irak dan Suriah. Hal ini penulis rasa dilatarbelakangi karena kelompok tersebut merasa umat islam semakin terpinggirkan di era post-modern.
ISIS dengan teror ideologi kekerasan dan negara khilafah telah menyedot perhatian seluruh dunia. Bagaimana tidak, memperdaya umat islam dengan istilah hijrah ISIS telah menarik sebagian umat islam di seluruh dunia untuk bergabung dengan ISIS. Munculnya ISIS bukan berarti tidak ada perlawanan, seluruh dunia menyoroti perlakuan ISIS terhadap masyarakat di Irak dan Syuriah. Banyak yang mengecam tindakan ISIS sebagai tindakan dehumaniti termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan muslim terbanyak di dunia, Indonesia secara tidak langsung juga terancam dari ideologi kekerasan ISIS. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang dengan sukarela menjadi simpatisan ISIS. Mereka rela meninggalkan bahkan mengajak seluruh keluarga pergi ke Irak atau Suriah untuk berjuang di jalan Allah Swt. dan mendirikan negara Khilafah.
Setelah berjalan Lima tahun dengan penuh perlawanan dari masyarakat Suriah terhadap ISIS, akhirnya pada awal tahun 2019 perjuangan tersebut membuahkan hasil. Pasukan Demokratis Suriah (PSD) telah mengumumkan kehancuran total ISIS. Pengumuman ini seakan menjadi akhir dari perjuangan dan pertempuran lama terhadap para militan ISIS. Beragam sumber memprediksi dan mengatakan bahwa ISIS sudah pada militansi ISIS tidak mudah luntur. Meski sudah dinyatakan kalah tapi ancaman baru berupa ideologi radikal dan kekerasan baru telah nyata terpampang di Indonesia.
Dengan menggunakan nama yang lain bisa saja simpatisan ISIS membuat kelompok baru untuk kembali bergerilya menebarkan ideologi dan memperjuangkan cita-citanya mendirikan negara khilafah. Jika hal ini terjadi tentu akan menciderai kultur negara Indonesia yang majemuk dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika. Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana cara mencegah tersebarnya ideologi ISIS agar tidak mempengaruhi masyarakat dan mendorong lahirnya kekerasan baru. Bagaimana mencegah penyebaran ideologi ini?
ISLAM DAN PANCASILA
Islam sebagai agama tidak bisa dilepaskan perannya dari negara, begitupun sebaliknya. Agama adalah kekuatan dari dalam dan negara adalah kekuatan dari luar. Untuk mencapai unitas dapat dilakukan dengan cara menempuh syariat sebagai hukum Allah yang mengatur kehidupan manusia. Dalam buku Islam Dalam Cita dan Fakta (2015) yang diterjemahkan K.H Abdurahman Wahid menjelaskan “Bagi Islam, syariah adalah cara untuk mengintegrasikan manusia. Ia adalah cara dengan mana manusia memberikan arti religius bagi kehidupan sehari-hari dan mengintegrasikan kehidupan ini ke dalam suatu pusat spiritual. Manusia hidup dalam keanekaragaman; ia hidup dan bertindak menurut berbagai kecenderungan dalam dirinya, beberapa di antaranya berasal dari keinginan hewani, beberapa lagi berasal dari aspek sentimental, rasional bahkan spiritual dalam dirinya. Manusia menghadapi keanekaragaman dalam dirinya dan pada saat yang sama ia hidup dalam masyarakat dimana ia menjadi bagian dan melakukan kontak serta hubungan yang tak terbatas dengan anggota masyarakat lainnya.” Islam sangat menghendaki adanya perbedaan, hidup bersanding dengan semua umat manusia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. di Madinah. Cerminan dari negara Madinah saat itu sangat relevan dengan Indonesia saat ini. Jika dahulu terdapat Piagam Madinah, di Indonesia terdapat Pancasila sebagai Ideologi untuk hidup Pluralis.
Ketika ada kelompok yang menyuarakan Pancasila tidak sesuai dengan syari’at islam ini jelas hal yang sangat keliru. Sila ke satu sampai lima kesemuanya mengandung nilai-nilai ajaran syariat islam. Bahwa umat islam dituntut untuk hidup secara majemuk, tanpa membedakan apa agama, suku, ras dan status sosialnya. Penanaman kembali atau doktrinasi ideologi Pancasila juga sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk mencegah ideologi radikal pasca runtuhnya ISIS. Masyarakat Indonesia harus disadarkan akan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan pemersatu bangsa. Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam (2018) mengakatakan “Sebagai Ideologi Pancasila dituntut untuk tetap pada jati dirinya, ke dalam (segi Intrinsik) dan ke luar( segi ekstrinsik). Ke dalam Pancasila harus (1) Konsisten (2) Koheren (3) Koresponden. Ke luar, harus menjadi penyalur dan penyaring kepentingan(4) horizontal maupun vertikal(5). Lanjut contohnya dalam hal ini Koheren misalnya Kuntowijoyo Menjelaskan ‘’Koheren(bahasa latin cohaerere) berarti “lekat satu dengan lainnya’’)artinya sila satu harus terkait dengan sila yang lain. Sila Kemanusiaan tidak boleh lepas dari Sila Ketuhanan. Sila Persatuan Indonesia tidak boleh lepas dari Sila Kemanusiaan; dan seterusnya. Memilih salah satu saja dari sila-sila dan meninggalkan yang lain adalah inkoherensi’’. Dapat ditarik benang menahnya bahwa dari sila ke satu sampai lima kesemuanya saling berkesinambunngan. Maka sangat penting untuk menguatkan dan menjaga nilai Kebangsaan serta Nasionalisme kemudian mengkampanyekan secara masif Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indoenesia untuk mencegah penyebaran ideologi ISIS yang keras dan radikal.
*Penulis: Moh Yajid Fauzi. Mahasiswa Universitas Islam Malang semester enam. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah periode 2018/2019.