Keragaman budaya di Indonesia sangatlah melimpah, dari Sabang sampai Marauke. Alhasil, akhir tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat ada 302 kota/kabupaten dan 31 provinsi menyerahkan pokok pikiran kebudayaannya. Pokok pikiran kebudayaan itu terdiri dari data kebudayaan di setiap daerah yang di antaranya; tradisi lisan, adat istiadat, ritus, seni, bahasa, dan permainan tradisional.
Hal itu telah menjadi tanggung jawab negara sebagai pelaksanaan dari Undang- Undang Dasar 1945 pasal 32 ayat 1. Ayat tersebut berbunyi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Berikutnya dikuatkan dengan UU no.5 tahun 2017 yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.
Peradaban dunia kini berkembang dengan cepat, teknologi telah mengubah wajah peradaban dunia menjadi virtualistik. Dunia menjadi semakin sempit. Dunia terasa ada di gengaman kita, dengan hanya cukup menggunakan gawai.
Percepatan peradaban menjadi tantangan di negeri yang beragam kebudayaannya ini. Dahulu, nenek moyang kita melakukan pengarungan budaya lokal yang lambat, akan tetapi syarat akan nilai. Budaya bangsa ini dibangun atas kesadaran nilai yang tinggi. Budaya yang mementingkan kepedulian dan keadilan sosial, pendidikan dan ekonomi.
Era ini kita disuguhkan dengan dunia siber, atau peradaban siber. Peradaban siber ini mengganti atau mengalihfungsikan peran manusia ke sebuah teknologi. Dalam mengurusi anak, cukuplah dipasarahkan ke Go jek, Grab, atau Uber untuk mendapat transportasi dan makan siap santap – atau lainnya. Dengan start up model bimbingan belajar orang tua memasrahkan pendidikan anaknya. Dengan gawai si anak diberikan hak untuk mengatur dunianya.
Dari mata rantai peradaban siber itu, si anak membaca, mendengar dan melihat dunia. Anak bebas memaknai apa yang ia dapat dari layer gawainya. Anak juga akan menelan setiap apapun, positif dan negatif di dunia maya. Karena, orang tua yang tidak turun tangan mendampingi anak dalam menggunakan teknologi.
Fatalnya, dari pengguna teknologi atau internet dari kalangan muda dan remaja yang kurang baca dan pendampingan, akan mudah menjerumuskan anak ke hal negatif, salah satunya radikalisme. Di mana banyak sekali akun atau konten radikal di dunia maya. Dari ceramah ustadz muda yang mengajarkan puritanisme hingga pada sebuah ajaran khilafah.
Bacaan, gambar atau video yang ada akan mempengaruhi daya pikir anak. Jika si anak sudah teracuni dengan doktrin radikal, maka perlu diwaspadai. Apalagi anak sudah bertindak ekstrim kepada orang lain.
Hal itu dapat dicegah dengan mengenalkan dan mendekatkan si anak kepada budayanya. Kearifan lokal budaya Indonesia inilah yang akan menghindarkan anak dari paham radikalisme. Bahkan kearifan lokal inilah yang akan mengajak anak mengenal identitas dirinya dan bangsa.
Kearifan lokal yang benar dipraktekkan tidak hanya mencegah atau menghindarkan anak dari radikalisme, akan tetapi anak juga akan mampu mengasah kemampuannya lebih. Bukan berarti menghadirkan kearifan lokal, dan meniadakan dunia digital, akan tetapi memadukan keduanya. Sehingga anak akan tumbuh kembang dengan watak progresif.
Kearifan lokal ini tumbuh dan berkembang dari kampung-kampung. Kampung- kampung dengan kesadaran penuh melakukan pelestarian dan pemajuan kebudayaannya. Bukan atas dasar tuntutan kinerja, akan tetapi atas kesadaran melestarikan nilai luhur bangsa Indonesia yang gemah ripah loh jinawe.
Kampung- kampung telah menjadi laboratorium anak untuk merawat kebudayaannya dan menangkal radikalisme, dari yang ditimbulkan puritanisme agama atau lainnya. Kampung-kampung mulai mencipta dan merawat kebudayaannya dengan penuh suka cita. Banyak kebudayaan lama atau kolaboratif yang dimainkan guna menangkal budaya lain yang tidak sesuai dengan nilai dan norma orang kampung.
Dari kampunglah kebudayaan hidup untuk merawat generasi bangsa. Ada salah satu kampung yang ada di sebuah kecamatan, yakni kecamatan Jabung, kabupaten Malang. Kampung itu berjarak tidak cukup jauh dari kota Malang. Kota yang memiliki banyak kampus, dan salah satu kampusnya diidentifikasikan radikal ekstrim oleh BNPT.
Jabung adalah oase kearifan tradisi bangsa Indonesia. Penulis menyaksikan sendiri, banyak tokoh masyarakat yang peduli pada warganya dan banyak ruang-ruang kreatif yang disuguhkan. Ruang itu beraneka rupa dengan kekhasannya.
Kecamatan itu penuh dengan kreasi dan apresiasi, dikarenakan terdapat banyak taman baca dan pedopakan seni. Taman baca di sana tercatat sekitar dua puluhan dan sepuluh padepokan seni budaya. Taman baca di sana sangat variatif, ada yang juga mengajarkan tarri topeng, wayangan dan bermusik- atau hanya sekedar menjadi perpustakaan baca.
Gus Irul sebagai inisiator Gubuk Baca Lentera Negeri selalu bergiat mengajak anak-anak membaca, tidak dengan langsung, akan tetapi mengajaknya melalui karindingan, tari atau bahkan membuat topeng. Sedangkan Gubuk Sufi, merupakan taman baca yang setiap anak didiknya diajarkan tari sufi. Ada juga Kampung Damar, kampung kreatif yang memproduksi lampion dari bamboo. Tidak hanya itu, ada juga taman baca yang digerakkan oleh pemuda bertatto – yang juga mengajarkan seni musik.
Gubuk baca itu telah menjadi tauladan bagaimana mendekatkan anak dengan kebudayaannya. Dengan hal itu, anak mampu benar-benar memasuki dunianya. Anak juga perlahan akan mampu mengenal identitas diri dan bangsanya. Sehingga, anak mampu memfilter segala sesuatu, baik informasi atau budaya lain yang baru diketahui. Kenalkan dan ajarkan anak dengan kebudayaan lokal akan menjauhkan anak dari radikalisme. Kebudayaan adalah Koentji.
Penulis: Al Muiz Liddinillah