Ben Anderson menilai bahwasannya bangsa Indonesia terbentuk atas imajinasi komunitas. Bangsa menurutnya adalah komunitas politis yang dibayangkan terbatas secara erat dan berdaulat. Imajinasi itu tersatukan berkat industri percetakan/ penyiaran yang ada, seperti halnya saat Sumpah Pemuda dan Proklamasi.
Sumpah pemuda menjadi saksi bagaimana imajinasi itu terbangun. Semangat menjadi bangsa melalui partisipasi dari beberapa orang pemuda dalam merumuskan sumpah. Kemudian menyebar ke berbagai pelosok.
Momen itu adalah momen di mana pemuda sebagai bangsa bersatu dengan kesamaan nasib – penindasan. Selain kesamaan nasib, pemuda juga ingin berdaulat secara pemikiran dalam mengatur sebuah negara. Pemuda memiliki visi membangun dan memperjuangkan sebuah kemerdekaan dan keadilan.
Imajinasi persatuan pemuda kala itu membangun sebuah atmosfer perjuangan, bahwa rakyat Indonesia layak merdeka, di manapun berada. Maka sumpah pemuda menjadi awal kemerdekaan yang tepat. Dari sanalah, pemuda mendefinisikan bahasanya, bangsanya, dan tanah airnya.
Pemuda satu abad lalu memperjuangan kemerdekaan dengan abstraksi keberagaman yang ada, yang disatukan pada semangan sumpah pemuda dan proklamasi. Semangat itu adalah semangat untuk membebaskan rakyat dari penindasan dan penjajahan. Semangat untuk meraih kemerdekaan.
Apa yang bisa diilhami dari semangat pemuda kala itu? Ia adalah semangat untuk melawan. Semangat untuk menolak segala bentuk kekerasan. Menolak segala bentuk penindasan. Menolak segala bentuk ketidakadilan. Melalui apa? Melalui Sumpah Pemuda, Perundingan, dan Proklamasi.
Sedangkan saat ini, apa yang perlu dilakukan pemuda? Pemuda di era digital ini? Pemuda yang hidup di era digital adalah generasi yang segar, bugar, dan penuh imajinasi, katanya. Mereka juga kerap dianggap sebagai milenial. Salah satu karakteristik dari milenial adalah pemuda yang terbuka dan adaptif.
Perjuangan apa yang perlu dilakukan oleh milenial saat ini? Apakah membuat sumpah pemuda lagi atau memproklamirkan negara baru? Tentu itu berlebih. Jika ada yang mudah mengapa cari yang sulit.
Milenial perlu membangunkan imajinasi-imajinasi lama itu, bukan sekedar romantisme belaka. Imajinasi apa yang perlu dibangunkan? Imajinasi sebagai bangsa yang beragam dengan misi memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Akhir ini, banyak fenomena mengejutkan terkait milenial yang terpapar paham ekstrimisme melalui dunia maya. Kecanggihan media dan teknologi semakin memperpuruk kondisi ini dengan sebaran konten yang mengajak pada kekerasan. Banyak penelitian pula yang mengatakan hal serupa.
Greenberg, 2016, mengatakan bahwa kelompok teroris seringkali menggunakan media sosial untuk menebar ideologinya. Sasaran yang sering terjaring oleh kelompok teroris di internet adalah remaja yang aktif bermain sosial media. Kelompok teroris dapat memanipulasi pemikiran kelompok remaja untuk memiliki pikiran-pikiran radikal dan terpengaruh untuk berbuat hal-hal radikal melalui internet.
Anak-anak muda ketika mereka pulang kuliah, tidak lagi bertemu dengan orang lain, dan beristirahat di kamarnya, bukan berarti mereka aman dari pengaruh paham radikalisme. Justru dalam banyak kasus, ketika anak muda beristirahat di kamarnya dan kemudian membuka handphone atau laptopnya, justru pada saat ini dimulailah godaan, tawaran dan termasuk pengaruh paham radikalisme mulai masuk. Di era perkembangan masyarakat digital, konten-kontan radikalisme yang tersebar melalui media sosial, dan dunia maya adalah salah satu ancaman yang kerapkali dihadapi anak muda.
Berdasarkan survei BNPT, diperkirakan, ada sekitar 80% generasi milenial yang rentan terpapar radikalisme. Karena, cenderung tidak berpikir kritis. Dalam banyak kasus, generasi milenial ternyata, lebih cenderung menelan mentah-mentah infomasi yang mereka terima, tanpa, terlebih dahulu melakukan cek-ricek. Anak muda di era abad ke-21, pada dasarnya adalah bagian dari generasi virtual, atau disebut juga net generation yang di satu sisi menikmati berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi informasi, dan internet. Namun, di saat yang sama juga rawan terkontaminasi konten negatif dari dunia maya. Konten negatif yang dimaksud, selain tawaran cyberporn, tak jarang juga paham radikalisme yang berbahaya. (media Indonesia)
Jikalau kondisi milenial sudah banyak yang tidak berfikir kritis dan mudah terpengaruh tindak kekerasan yang merugikan bangsa dan negara, apakah milenial masih bisa dianggap anak muda yang terbuka dan kritis?
Milenial memiliki tantangan yang luar biasa melawan tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum tindak kekerasan. Maka, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RANPE) berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme menjadi penting. RANPE dapat membantu kita semua merawat bangsa ini dari tindak kekerasan.
Kita semua perlu meneguhkan bahwa milenial adalah anak bangsa yang anti kekerasan. Milenial adalah generasi yang cinta damai. Milenial adalah generasi yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara- bukan malah merusaknya.
Penulis: Al Muiz Liddinillah (Duta Damai Jawa Timur)