Masyarakat milenial banyak yang menilai bahwa pendidikan agama selama ini tidak cukup menghasilkan manusia-manusia yang toleran, inklusif, dan multikulturalis. Pendidikan agama seharusnya memiliki andil dalam menyumbang persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan hidup antar umat beragama. Bukan terkungkung dengan tradisi proses transfer ilmu saja yang hanya sampai pada menerima ilmu tanpa peresapan, tanpa transformasi nilai-nilai luhur keagamaan untuk dijadikan pegangan agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat dan berakhlak mulia.
Belajar agama tidak lagi menyoal formalisme atau kukuh pada sistem konvensional yang kolot dan penuh kekakuan dengan berhenti pada penghafalan berjubel dan berlembar dalil kita suci saja, tetapi lebih dari itu, nilai agama direfleksikan melalui pengalaman iman lewat peristiwa- peristiwa yang dialami di kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berbangsa yang demokrasi. Pendeknya, memahami agama sebagai bukan sebagai pengetahuan normatif-dogmatis, tetapi menuju pemahaman pendidikan agama yang inklusif.
Membumikan nilai-nilai perdamaian, cinta-kasih, dan kemanusiaan pada generasi milenial menjadi misi bersama dalam mewujudkan milenial damai, mengagungkan ras manusia, dan menjunjung nilai demokrasi. Pemahaman agama bahkan perlu secara ekplisit dan implisit tidak melupakan pengajaran bahwa penindasan dan ke sewenang-wenangan terhadap sesama manusia bukanlah perbuatan terpuji. Bukankah mereka yang tidak beradab yang berani melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang justru mencederai nilai agama?
Memahami kehadiran situasi beragama yang humanis yang appreciate terhadap nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan menghargai hak-hak manusia akan mampu menciptakan masyarakat yang rukun dan damai.
Setiap pemuda milenial yang menjadi tonggak dan mendominasi peradaban saat ini, memiliki hak yang besar untuk berkreasi dan mengaktualisasi diri.
Pada waktu yang sama pula, mereka juga mendapat penghargaan yang tinggi akan setiap keunikan yang dimiliki oleh masing-masing, sehingga tidak mustahil jika kehidupan yang harmonis dan peradaban bangsa tinggi dapat terwujud di Indonesia ketika merangkul setiap perbedaan yang ada dan diyakini sebagai suatu keniscayaan.
Prinsip demokrasi bergama adalah dengan pengakuan terhadap pluralisme dan multikulturalisme, bukan malah menyodorkan melanggengkan agama yang sarat dogma perpecahan, tidak menghormati dan menghargai keyakinan atau agama yang berbeda. Realitas banyak mengatakan, bahwa pengajaran agama utamanya formal di sekolah- sekolah kurang memberikan peluang kepada murid untuk mengembangkan kreativitas dengan kemampuan berpikir kritis dan terbuka. Mereka masih menjadi objek.
Mereka diposisikan sebagai orang tertindas, tidak tahu apa-apa, dan harus dikasihani. Mereka terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Dijejali dan disuapi dengan beraneka ragam materi yang kadang-kadang di luar kemampuan berpikir mereka. Berpuluh-puluh tahun lamanya mereka dihadapkan pada hafalan tanpa adanya ruang untuk mengambangkan daya eksplorasi, kritis, dan kreativitasnya yang berakhir menjadi hamba yang intoleran tanpa peresapan nilai kemanusiaan.
Menghadirkan dan mengambangkan pemahaman agama yang demokratis serta meninggalkan sistem dan pola sentralistik serta otoriter diganti dengan penanaman ilmu agama yang lebih membebaskan, lebih berwawasan terbuka, lebih menghargai, sesederhana berupaya menghargai keragaman karakteristik masing-masing individu.
Di era pengembangan teknologi yang berjalan pesat, kemudahan menerima dan menyebar nilai juga semakin terbuka lebar. Ruang akses pemerolehan ilmu dan informasi termasuk pemerolehan di ruang maya sudah saatnya dimanfaatkan dengan memerhatikan etika. Penanaman nilai-nilai agama yang luhur dari pendidikan formal hingga nonformal menjadi tombak penting kemajuan suatu bangsa. Nilai agama yang inklusif, humanis, dan demokratis dapat terealisasi dengan baik ketika titik fokus adalah untuk mewujudkan generasi yang mencintai perdamaian. Sudah saatnya generasi milenial menjunjung nilai perbedaan individu dan kelompok dengan menghapus tindak diskriminasi di ruang-ruang manapun. Sudah saatnya meninggalkan pertikaian- pertikaian antar golongan dan mewujudkan generasi milenial berkemajuan yang cinta damai
Penulis : Musyarrafah S
Sumber gambar: Akuratnews.com