Syahdan, tokoh kemerdekaan India yang terkenal dengan gaya hidup zuhud, Mahatma Gandhi, pernah mengatakan “Jika kita hendak menciptakan perdamain di dunia, kita harus memulai dari anak-anak.” Gandhi yang dengan gaya perjuangan kemerdekaan yang lebih memilih jalur nir-kekerasan sangat menyadari tentang pentingnya peran anak-anak untuk mewujudkan perdamaian yang dicita-citakan oleh semua orang.
Barangkali kesadaran itu pula lah yang menuntunnya memilih jalan yang berbeda, tidak mengangkat senjata, dengan tokoh-tokoh kemerdekaan di negara lain dalam kiprah perjuangannya. Mungkin, Gandhi berpikir bahwasannya kekerasan hanya akan menimbulkan sakit, kebencian dan dendam.
Kekerasan (violence) pada dasarnya tidak sebatas fisik, namun kekerasan juga bisa berupa non fisik atau secara biasa dikenal dengan kekerasan symbol, symbolic violence. Kekerasan model kedua pada saat ini sudah sangat menghawatirkan, terutama bagi anak. Media sosial saat ini hadir seakan mampu menyediakan informasi tanpa batas tak terkecuali konten-konten yang mengandung unsur radikalisme.
Akibatnya, jika anak dapat secara bebas dapat mengakses konten yang demikian, maka dampak buruk yang akan terjadi di masa mendatang tak ubahnya ibarat bom waktu yang hanya menunggu saatnya untuk meledak.
Salah satu contoh dampak negatif tersebut misalnya seperti yang dialami oleh pelaku bom bunuh diri yang terjadi di Tugu Kartasura, Jawa Tengah (3/6/2019). Berdasarkan keterangan temannya, pelaku seringkali melihat video perang di Syuriah termasuk gambar pemenggalan kepala.
Pelaku yang awalnya sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar kemudian berubah menjadi sangat tertutup. Dan puncaknya, dia melancarkan aksi aksi bom bunuh diri.
Contoh lain yakni, seperti yang dilakukan oleh pasangan suami istri pelaku pengeboman di Gereja Surabaya. Mereka justru dengan sengaja memaksa anaknya sendiri dengan untuk menonton film bernuansa jihad. Tentu, tujuannya tidak lain adalah supaya anak tersebut berpandagan radikal.
Dari kedua contoh tersebut, pengaruh media sosial dalam membentuk karakter anak menjadi radikal sudah menjadi sebuah ancaman yang serius. Untuk mengatasi hal tersebut, selayaknya para orang tua memberikan perhatian khusus bagi anak dalam penggunaan gadget.
Perhatian tersebut bisa dengan cara sering memeriksa konten yang diakses oleh anak. Jika ditemukan sesuatu yang mengarah pada paham radikal, maka memberikan pengertian dan mengajak mereka berdiskusi bisa menjadi sebuah solusi sebagai upaya pencegahan dini.
Atau, jika diperlukan, membatasi penggunaan gawai pada anak dapat mengurangi kemungkinan mereka mengakses konten-konten radikal. Hal ini bisa dilakukan dengan menyibukkan mereka dengan kegiatan lain, seperti les musik atau memberikan mereka waktu untuk bermain di luar bersama dengan teman sebayanya.
Disamping itu, memperkenalkan anak pada ragam budaya nusantara seperti musik dan tari bisa juga menjadi alternatif lainnya. Karena dengan memperkenalkan mereka pada budaya nusantara yang begitu beragam tidak lain adalah untuk memperkenalkan dan membiasakan mereka pada perbedaan.
Dengan demikian, paling tidak, anak akan menyadari bahwasannya perbedaan adalah sebuah keniscayaan lantas mereka menjadi terbiasa dan bisa menghormati perbedaan yang ada di sekitarnya.
Selain itu, sebagai orang tua, memberikan teladan untuk bertoleransi dalam kehidupan sehari-hari juga tidak kalah penting. Bagaimanapun anak cenderung lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara meniru sikap dan dan prilaku yang dicontohkan oleh orang tua.
Mendidik anak untuk bertoleransi dengan cara di atas penting untuk dilakukan mengingat anak adalah cerminan suatu masyarakat di masa mendatang. Jika kita menginginkan mewujudkan kehidupan yang harmonis dan penuh kedamaian, maka sudah selayaknya mempersiapkan anak untuk memiliki karakter dan kepribadian yang toleran.
Karakter dan kepribadian yang demikan dangat diperlukan agak mereka tidak mudah menyalahkan orang lain yang berbeda dan bersikap diskriminatif terhadap liyan yang pada level tertentu pun dapat memicu timbulnya kekerasan.
Akhirnya, saya sepakat dengan perkataan Gandhi di awal karena dengan mengajari anak untuk memiliki sikap toleransi, agaknya kita telah berkontribusi dalam usaha untuk menciptakan perdamaian dunia.
Penulis: Ahmad Aminuddin – Penggerak komunitas Santri Gusdur Jogja dan alumni CRCS UGM