Akhir-akhir ini banyak momentum berubah menjadi peristiwa monumental. Beraneka ragam ruang atau labirin-labirin dalam bidang pendidikan,ekonomi,kebudayaan,lingkungan dan politik menjadi hal yang patut disorot, ditelisik, dicari benang merahnya. Rentetan isu-isu lima tahun terakhir seperti full day school, aksi 212, reklamasi teluk Jakarta, pendirian pabrik semen di Kendeng Jawa Tengah, bom bunuh diri di Surabaya serta peristiwa dan isu-isu lainnya sering dipelintir dan di dramatisir oleh oknum-oknum sehingga masyarakat sering menjadi salah paham dan akhirnya terjebak dalam pusaran hoaks, head speech dan kebohongan.
Media sosial dewasa ini telah membongkar batas-batas pergaulan yang sebelumnya masih menyisakan sekat norma dan etika. Media sosial juga melabrak batas usia dalam berinteraksi. Satu sisi kita sedang menikmati proses demokratisasi, kebebasan yang sedang kita rayakan ini telah mendorong pada tumbuhnya budaya baru yang bernama kekerasan dan perpecahan virtual (virtual violence).
Kekerasan virtual merujuk pada kekerasan yang dialami tidak secara fisik, tetapi memiliki dampak psiko-sosial yang sama terhadap individu seperti penetrasi kekerasn melalui televisi,film, game dan internet. Penetrasi abstraksi kekerasan danpotensi perpecahan mengalir deras melalui beberapa konten yang tersebar di dunia maya. Tidak hanya visualisasi kekerasan yang bertebaran, tetapi pola dan sikap mendorong kekerasan dan perpecahan melalui teks,narasi dan kata-kata menjadi hidangan di media sosial.
Menurut survei Najwa Shihab (duta baca Indonesia 2016), bahwasanya Indonesia menempati ranking ke 60 dari 61 negara yang minat bacanya paling rendah se Asia-Afrika. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa masyarakat Indonesia menjadi bidikan para oknum yang tidak bertanggung jawab guna menyuapi konsumsi konten-konten di dunia maya yang sudah didesain sedemikian rupa. Pemahaman terbalik dari ulasan duta baca Indonesia tahun 2016 diatas adalah masyarakat Indonesia bisa memfilter guyuran informasi di kehidupan sehari-hari dan media sosial bilamana konsumsi literatur dan bacaan melimpah, serta memiliki pola pikir yang sederhana dan ideal di implementasikan.
Menerapkan metode berpikir oposisi biner
Pola pikir oposisi biner layak diiklankan kepada masyarakat. Mengapa demikian? dikarenakan sederhananya pola ini dalam menangkal kekerasan dan perpecahan virtual violence. Tak perlu naif mengatakan jika memang beberapa kekerasan dan perpecahan di media sosial sengaja dibuat lalu disebar-luaskan. Untuk menangkalnya bukan suatu perkara mudah. Terminologi oposisi biner dicetuskan oleh Ferdinand De Saussure, salah satu dari dua orang penggagas ilmu semiotika bidang lingustik. Pola pikir oposisi biner adalah suatu sistem yang membagi berbagi hal dalam dua ketegori yang berhubungan dan berlawanan. Seiring berjalanya waktu, teori ini dikembangkan oleh Claude Levi Strauss yang mampu membuat pemahaman dan kesimpulan kaidah ini menjadi lebih praktis dan beguna. Contoh sederhananya adalah hitam-putih, gelap terang,benar-salah, baik-buruk.
Penerapan teori ini dalam kehidupan sehari-hari dan bermedia sosial layak di gaungkan kembali, pasalnya masyarakat tidak hanya menjadi dirinya sendiri yang sebenar-benarnya.mereka dituntut pula menjadi orang lain dengan sebenar-benarnya juga. Misalnya dalam konteks isu pendidikan “full day school” yang sempat menjadi “buah bibir”diseluruh elemen masyarakat yang mengakibatkan mereka terpecah menjadi dua bagian yaitu pihak pro dan kontra. Lapisan masyarakat yang pro beranggapan bahwa full day school adalah terobosan yang semakin memberi dampak positif dengan berbagai macam dalilnya. Sebaliknya, lapisan masyarakat yang kontra mempunyai persepsi dan asumsi bahwa full day school memberi dampak negatif bagi dunia pendidikan dengan segala dalilnya. Jika kedua lapisan diatas sama-sama kukuh dengan pendapatnya masing-masing tanpa mengindahkan yang lain maka akan menjadi dogma yang berbahaya. Namun bilamana mereka baik yang pro maupun kontra mampu berfikir lintas pendapat kemudian menarik kesimpulan, maka aka berimbang dan tidak ter-hagemoni oleh persepsi dan asumsi dari masing-masing lapisan. inilah pola pikir yang masih relevan untuk diterapkan.
Memfiltrasi dengan hukum kausalitas (sebab-akibat)
Tokoh-tokoh terkemuka sekaliber “hujjatul islam” imam al Ghazali, David hume berpendapat bahwa hukum kausalitas sebagai hukum yang mengatur alam semesta. Pendapat diatas sah-sah saja dan patut di refleksikan. Lebih dari perlu kiranya hukum kausalitas di tawarkan kepada masyarakat dalam upaya menjadi smart-netizen. Contoh sederhananya dalam konteks PEMILU bulan April kemarin, seseorang mendukung calon A bukan berarti calon B buruk dan sebaliknya. Pendukung yang mendukung calon A bisa jadi karena kerabat dekatnya sehingga meskipun calon B lebih baik, kecil kemungkinan pindah haluan dan sebaliknya. Orang yang mendukung calon A bukan berarti caon B buruk, bisa jadi calon A bahkan lebih buruk. Namun karena suatu kejadian yang mengakibatkan munculnya sentimen, maka hal seperti itu mungkin saja terjadi dan sebaliknya.
Semua kejadian, peristiwa dan isu-isu pasti mempunyai sebab-akibat. Semunya harus kita bentangkan seluas-luasnya. Hukum kausalitas menjadi salah satu opsi yang mudah di terapkan dalam usaha menjadi Smart Netizen, memerangi kekerasan dan perpecahan “virtual violence”di kedupan sehari-hari dan dalam bermedia sosial. Sehingga dimanapaun dan kapanpun berondongan peluru-peluru kekerasan dan perpecahan bisa di hindari. Begitupun jika terbidik lalu terkena peluru tersebut, maka obatnya sudah tersedia dalam diri kita sendiri.
Penulis: Ahmad Qomaruddin