Oleh: Ahmad Zainuri
Sejarah bangsa Indonesia membentang panjang sepanjang sejarah kebudayaan dan peradaban lokal di kawasan-kawasan negeri ini. Konstruksi politis-edukatif serta organis baru memulai di awal abad ke-20 dengan representasi kelompok Islamis dan Nasionalis. Respon kedua poros tersebut sama-sama membangun kepedulian untuk kemerdekaan bangsa bukan golongan tertentu. Namun, seringkali pembatasan sejarah disandarkan pada bapak revolusi sebagai penggagas dan pemula sejarah Indonesia ini.
Secara konsepsi, kata “Indonesia” bermakna politis. Terbukti dengan selesainya kesultanan-kesultanan dan kerajaan-kerajaan di negeri ini dan menyepakati secara bersama berdirinya Indonesia oleh presiden pertama Ir. Soekarno. Artinya, “Indonesia” memiliki daya tafsir persatuan dan kesatuan masyarakat atas suku-suku, agama, dan semua golongan dalam satu wadah yaitu Indonesia. Sebagai Indonesia modern, tentunya gagasan sistem dan eksekutifnya segera menjawab keberlangsungan dengan orientasi-orientasi ke depan bangsa-negara atas deklarasi proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Namun, yang perlu diketahui bahwa sejarah bangsa ini tidak hanya dimulai pada saat Ir. Soekarno duduk sebagai pimpinan negara, melainkan jauh kebelakang bahwa bangsa ini telah berjuang membangun identitas dan karakter sebagai bagian sejarah kebudayaan bangsa-bangsa. Bisa dikataan permulaan masa revolusi sebagai sajian sejarah politik Indonesia.
Pada episode selanjutnya sejarah seluruhnya mencerminkan sebagai narasi politik sebuah pemimpin/kerajaan di suatu negara. Akan tetapi perlu dipahami secara seksama bahwa tanpa adanya perjuangan secara kultural di arus bawah, sejarah nasional pun tidak ada, karena sejarah nasional ditopang dengan sejarah lokal. Justru dengan membaca dan memahami sejarah lokal merupakan bagian dari memperkuat atau memperkokoh identitas bangsa Indonesia.
Kebanyakan orientasi hari ini ialah nasional dan internasional. Sehingga lokal, jarang sekali menjadi pondasi bagi mereka dalam memperkukuh sebagai bangsa Indonesia. Analisa ini bertolak dari peristiwa sejarah kemunculan organisasi muda-mudi etnik di Indonesia kisaran tahun 1911-1928-an. Mereka disatukan oleh etnik bertujuan untuk membangun solidaritas dalam melawan dan mengusir kolonial yang lama bercokol di Indonesia, terutama melalui jalur diplomasi. Keberhasilan mereka ketika kongres ke-1 tahun 1926 belum berhasil merumuskan persatuan di antara beragam perbedaan, maka dijawab pada kongres ke-2 tahun 1928 yang kita kenal dengan Sumpah Pemuda.
Dari kemunculan organisasi-organisasi kedaerahan tersebut tidak lain tujuan mereka ialah menyuarakan arti perjuangan dari daerah untuk nasional. Organisasi-organisasi tersebut juga mengajarkan kebudayaan dan kegiatan sesuai etnisitas mereka. Dengan keberadaan organisasi-organisasi kedaerahan tersebut mereka sedang membangun pondasi kebangsaan dengan memupuknya dari bawah. Maka, dengan mengenal jati diri kebudayaan masing-masing, secara tidak langsung mereka sedang membangun peradaban bangsa Indonesia.
Ada sebuah kisah ketika saya melakukan perjalanan naik kereta ke Jawa Timur, di samping saya sedang membincang tentang pernikahan. Yang isinya kurang lebih seperti ini “Dengan adanya silang etnik dalam pernikahan, mengindikasikan tidak ada lagi kesukuan daerah, yang ada hanya suku Indonesia” kurang lebih seperti itu.
Dalam benak saya berpikir, kalau silang etnik sudah begitu masif, mereka hidup di perkotaan sebagai masyarakat urban, dan anak-anak mereka tidak lagi mendapat edukasi tentang kebudayaan etnik dalam sehari-hari, maka sepertinya akan muncul problem, yaitu kerapuhan identitas sebagai bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Karena akar bangsa Indonesia itu sendiri terletak pada keragaman suku bangsa itu sendiri. Maka, kalau semua mengaku “aku Indonesia”, ketika ditanya mereka bingung dengan suku mereka, perlahan bangsa ini sebenarnya sedang menikmati kerapuhannya. Karena justru dengan adanya suku-suku tersebut, itulah Indonesia.
Secara budaya zaman ini, tentang silang etnik dalam pernikahan tidak bisa dicegah. Namun, dari masing-masing orang tua harus memberikan edukasi terhadap budaya etnik yang selama ini mereka jalani. Agar keberlanjutan dan keberlangsungan sebagai bangsa besar ini tidak kehilangan dan tidak tercerabut dari akar sejarah bangsanya.
Khazanah dan wisdom ini merupakan pelajaran yang turun temurun dalam membangun dan melestarikan apa arti sesungguhnya tentang merawat bangsa. Maka, ketika melihat sejarah di atas tadi bahwa memberikan edukasi tentang kebudayaan suku masing-masing, justru itu yang akan merawat bangsa ini. Karena adanya “Indonesia” sebab dari suku-suku tersebut yang membingkai dan mempersatukan maksud untuk merawat dan melestarikan beragam khazanah falsafah bangsa.
Maka, dari tinjauan di atas bahwa begitu penting sekali belajar sejarah, terutama bagi pelajar. Mereka mempelajari sejarah akan membentuk identitas dan karakter sebagai bangsa yang besar, bukan mengekor dari Barat atau negara lain. Karena sejauh ini, sejarah lokal belum begitu banyak dinarasikan sebagai penguatan lokal. Kiranya, ini menjadi alternatif sebagai pengokohan nasionalisme dan moderasi beragama di Indonesia, semua berakar dari pemahaman sejarah bangsa mereka sendiri dalam meneropong perjalanan masa depan mereka.
Sembari ilmu lain yang dipelajari, sejarah merupakan ilmu sebagai pondasi penguatan jati diri bangsa. Karena dengan sejarah mereka akan terus memahami keberagaman bangsa Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke. Sehingga tidak ada distorsi pemahaman, yang jatuhnya terjadi sebuah radikal gerakan terhadap bangsa sendiri, ditambah kemirisan tersebut mengatasnamakan agama.
Pesan terakhir, membangun identitas bangsa menyelamlah pada jati diri bangsa ini, bukan malah keluar. Serta jadikanlah sejarah sebagai pedoman dan pelajaran hidup. Ada sebuah kata-kata yang berbunyi “Sejarah merupakan guru terbaik dalam kehidupan”. Petiklah dari segala peristiwa dalam ruang dan waktu yang terjadi dalam lintasan sejarah sebagai prisma untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Editor: Akbar Trio Mashuri