Bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah merasa ketakutan karena dihantui bayangan virus Corona? Virus corona memang perlu diwaspadai karena tanpa kita sadari bisa saja menjangkiti kita, orang tua, anak bahkan orang-orang yang kita sayangi lainnya. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan ini sudah meneror masyarakat dunia.
Ketakutan kita kepada virus Corona, jangan sampai melalaikan kita pada virus yang sama berbahaya, yakni paham kekerasan. Corona memang menyerupai paham kekerasan, keduanya sama-sama mampu menyebabkan ketakutan kepada masyarakat luas bahkan dapat memakan korban jiwa. Tidak kalah mengerikan penyebarannya bisa begitu cepat. Ali Imron, terpidana Bom Bali, pernah berujar dirinya membutuhkan dua jam saja untuk mampu memprovokasi seseorang sampai siap bunuh diri.
Paham kekerasan seperti terorisme semacam virus yang mampu menghinggapi orang terdekat kita. Bahkan tidak jarang, virus itu dimasukkan dalam rumah oleh keluarga kita sendiri, misal kisah Sumarno, ia merupakan keponakan dari Amrozi, Ali Imron dan Ali Fauzi. Oleh pamannya, Sumarno menerima paham kekerasan untuk mencapai tujuannya, tanpa peduli dampak yang ditimbulkan.
Penulis banyak menyimak kisah-kisah mantan pelaku lainnya. Mereka rata-rata dengan mudahnya melakukan cara-cara kekerasan, salah satunya, karena didoktrin dengan anggapan orang yang berbeda dari kelompoknya (out group) merupakan orang-orang sesat. Doktrin itu lambat laun, akan melahirkan matarantai penyebaran virus kekerasan dengan sikap-sikap egoisme, seperti klaim kebenaran, superioritas hingga kebencian, sekaligus
Dari sisi korban, kita bisa melihat bahwa virus paham kekerasan dapat menyakiti, melukai bahkan bisa mematikan ratusan orang dalam sekejap. Tidak hanya itu, ia pun menanamkan ketakutan kepada masyarakat luas. Meski virus corona belum diketahui hingga kapan memunculkan rasa takut, namun bisa kita pastikan tidak akan lebih lama dibandingkan ketakutan karena traumatik yang diderita korban karena dampak kekerasan.
Memutus Rantai Paham Kekerasan
Janica R Kelly, Nicole E Iannone, dan Megan K McCarty melakukan sebuah riset berjudul “Emotional Contagion of Anger is Automatic: An evolutionary explanation“. Riset tersebut menemukan emosi negatif lebih mudah ditularkan ke orang lain dibandingkan emosi positif. Artinya penyebaran paham kekerasan seperti menyakiti orang lain lebih mudah diterima orang lain daripada ajaran cinta kasih.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Penulis teringat anjuran pemerintah yang mengusulkan physical distancinguntuk memutus penyebaran virus corona. Bisa dimulai dengan jarakkan diri terhadap prasangka buruk terhadap kelompok lainnya. Riset Muhid dan Fadeli (2018) terkait prasangka sosial dan toleransi beragama pada mahasiswa di perguruan tinggi umum menemukan semakin tinggi prasangka seseorang semakin rendah toleransi, dan sebaliknya semakin rendah prasangka seseorang semakin tinggi toleransinya.
Tidak hanya melakukan menurunkan prasangka, kita pun perlu mendekati yang telah terpapar agar terbangun kelekatan emosional (emotional attachment).Pendekatan emosional mampu melahirkan sebuah pemahaman baru dalam diri seseorang untuk semakin lekat kita. Kelekatan ini lambat laun menaruh rasa keakraban dan persaudaraan. Hal yang seringkali tidak dimiliki oleh anggota kelompok jaringan terorisme kepada masyarakat luas.
Matarantai kekerasan tidak bisa dihentikan dengan kekerasan pula, namun bisa dengan sisi emosional. Penuturan beberapa mantan pelaku, mereka terharu hingga meminta maaf setelah mendengarkan dampak aksi kekerasan yang mereka lakukan kepada korban. Rasa haru itu perlahan memunculkan perubahan pandangan pada mantan pelaku. Jika dulu menganggap di luar kelompoknya sebagai musuh, kini yang ada hanyalah persaudaraan. Jika dulu para mantan pelaku dan korban dipenuhi kemarahan, tidak jarang keduanya bisa menjadi teman untuk mengkampanyekan perdamaian.
Harapan menghentikan virus kekerasan masih ada, asal kita mengambil peran. Bisa dimulai untuk menjarakkan diri (physical distancing) dari paparan doktrin kekerasan hingga menjaga orang-orang di sekitar kita dengan membangun kelekatan emosional agar tidak pro terhadap kekerasan. Terakhir, mari melakukan social distansingdari semua berita menghasut dan kelompok yang mengajak pada kekerasan atas nama apa pun. Jika itu bisa kita lakukan, maka kedepannya perdamaian sebagai salah satu kebutuhan dasar lebih mudah kita capai.
Penulis: Muhammad Saiful Haq (Mahasiswa Pascasarjan UIN Jakarta)