Kasus intoleransi masih menjadi momok terbesar bagi kelangsungan kedamaian di Indonesia khusunya, pasalnya ada dua peristiwa pengeboman di Gereja Katedral Makassar dan penembakan di Mabes Polri. Permusuhan dan kebencian masih sangat masif menyebar di media sosial atau kelompok yang menantang ajaran tidak sesuai pemahaman mereka. Akar penyebab aksi tersebut banyak mengatakan, adanya cara pandang tafsir yang berbeda tentang alquran dan sunnah, merealisasikan ajaran tauhid dengan memusuhi institusi yang dianggap menyeleweng.
Pastinya manusia mengambil peran dalam peristiwa tersebut, manusialah yang menjadi dalang dibalik semua kejadian mengakibatkan kerusuhan hingga ada korban. Jika manusia tidak bertuhan dan beragama, masihkah kita bisa menyalahkannya?
Lantas, sipakah yang salah? Tuhan? Agama ? ajaran? Atau manusia?
Salah Tuhan?
Tuhan maha menghendaki manusia yang ada di bumi, lalu salah Tuhan? Konsepnya tidak begitu, karena sebagai manusia kita diberikan bekal oleh Tuhan, yakni akal untuk berpikir. Kita semua diberi kebabasan untuk berpikir mana baik dan buruk, yang lebih mengetahui diri kita adalah diri masing-masing, merenungi setiap detik kejadian yang telah lalu sebagai bahan pembelajaran.
Tuhan Maha Menghendaki, tetapi kita tidak tahu apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Tanpa disadari Tuhan bisa menjadi bahan politik untuk melancarkan aksi-aksi kekerasan, ujaran kebencian dan pembunuhan. Sangat ironis sekali saat kita melakukan aksi dengan sadar dan penuh akal sehat melibatkan Tuhan yang tidak bersalah sebagai kambing hitam.
Tidak etis rasanya menyalahkan Tuhan, sedangkan perbuatan yang dilakukan menurut kehendak pribadi penuh kesadaran.
Salah Agama dan ajaran?
Pernyataan agama sebagai sumber permusuhan adalah salah besar. Mengapa? Di setiap ajaran agama pasti mengajarkan bagaimana bentuk mengasihi, mencintai, menolong sesama manusia tanpa ter kecuali.
Dalam agama tidak ada salah apapun terkait praktik-praktik yang dilakukan oleh menusia. Manusia melakukan atas kehendak, didorong oleh keinginan pribadi didukung akal sebagai dasar tampungan pengetahuan. Membenarkan segala cara untuk menghilangkan paham yang dianggap mengancam pengatahuan kelompoknya.
Menyebut tentang manusia begitu kompleks, manusia dihadirkan di bumi untuk saling mengenal satu sama lain. Anggapan beredar jika benar agama menjadi sumber permasalahan, kenapa manusia tidak disalahkan atas kepercayaan menganut agama?
Bagitupun juga ajaran agama, manusia memakai agama sekaligus ajaran sesuka hati demi tujuan yang diinginkan. Agama dan ajarannya tidak mempunyai pilihan untuk menentukan sikap, manusia yang memiliki itu untuk menentukan setiap perbuatan, mengetahui mana yang haq dan batil, baik dan buruk saat berinteraksi sesama manusia.
Konteksnya kita di Indonesia, masyarakat multikultural dari sabang sampai merauke. Tidak bisa menyamakan satu persepsi kepada kita, masing-masing kepala memiliki pikiran sendiri untuk melakukan hal yang terbaik. Sebagai masyarakat Indonesia tentu memiliki kebebasan beragama dan berekspresi yang diatur di dalam undang-undang tentang hak asasi manusia.
Banyaknya agama dan keyakinan sudah diatur sedemikian rupa demi keberlangsungan hidup yang harmonis, baik ajaran agama atau aturan yang dibuat oleh negara untuk saling menghormati pilihan-pilihan keyakinan yang diambil sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Teringat pesan Gus Dur, “Perbedaan itu fitrah, dan ia harus diletakkan dalam prisip kemanusiaan universal.”
Menjadi Manusia
Sejelek apapun manusia akan tetap menjadi manusia, bukan binatang. Perbuatan sekeji apapun yang dilakukan, tetap menjadi manusia. Ada potensi untuk berubah kearah kebaikan, seluruh hidupnya tidak hanya digunakan untuk berbuat kejelekan saja.
Seperti halnya, kisah Almarhum Ustaz Jefri Albukhory yang masa lalunya begitu kelam tetapi seiring waktu mengalami perubahan dan bahkan menjadi pendakwah kondang. Sederhananya persis seperti sosok ayah, sejelek apapun prilaku ayah ketika memiliki keturunan, ia tidak ingin anaknya meniru apa yang dilakukan.
Kita juga sama seperti mereka, manusia yang masih melakukan kesalahan. Masa dulu saya sering mengatakan Al-Insanu Makhalul Khotok Wannisyan (Manusia tempatnya salah dan lupa) sebagai tameng diri bahwa kesahalan adalah hal yang lumrah. Namun, alangkah baiknya perilaku diatas tidak patut digunakan tatkala melakukan kesalahan yang disengaja.
Menjadi manusia begitu sulit untuk diperdebatkan, ketidaktahuan keinginan tiap-tiap manusia menjadikan diri kita untuk selalu berbaik sangka kepada semua. Potensi dan kemungkinan akan terus terjadi seiring berjalannya waktu, memahami segala bentuk perilaku dan menjadikan diri lebih dewasa.
Semua manusia bisa melakukannya, tidak hanya kelompok tertentu. Berpikir dengan akal sehat untuk menentukan perilaku yang baik dan saling tolong-menolong sangat diperlukan. Keadilan dan ketentraman harus menjadi proritas dalam hubungan kemanusiaan, dengan menjadi manusia bijak yang diperlukan dalam dinamika kehidupan.
Penulis : Akbar Trio Mashuri (Duta Damai Jawa Timur)