Secara umum bangsa ini dan dunia pada umumnya sedang memasuki suatu era yang disebut dengan istilah post-truth.
Istilah ini merupakan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Era post-truth telah menandai pergeseran sosial di mana fakta berkontestasi fiktif, informasi bersaing dengan disinformasi dan kebenaran bertarung dengan kebohongan.
Media mainstream tidak lagi menjadi rujukan utama sumber informasi tetapi harus menghadapi fenomena semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.
Dalam hal ini, masyarakat ketika membaca informasi lebih cenderung mencari pembenaran dari pada kebenaran.
Dalam situasi seperti inilah, berita bohong, fitnah, hasutan, provokasi dan adu domba menjadi sangat liar berkembang dan sulit dideteksi.
Penggunaan sosial media sebagai sarana penyebaran konten hoaxs dan kebencian menjadi efektif dan meluas di tengah masyarakat.
Viral tidak lagi menunjukkan kebenaran. Sesuatu yang viral dianggap sebagai kebenaran.
Konten viral yang negatif berpotensi kuat meningkatkan perpecahan dan konflik horizontal.
Bahkan ujaran kebencian di media sosial secara langsung sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dapat meningkatkan radikalisme di Indonesia.
Dalam situasi seperti ini, sebenarnya masyarakat sudah sangat merasa resah dan gelisah.
Muncul berbagai gerakan sipil untuk melakukan cek kebenaran dan fakta atas semua informasi yang beredar. Artinya, kita sudah jengah dan resah dengan berbagai disinformasi yang ada.
Sesuatu yang harus dipahami dalam kondisi seperti itu bahwa penyebar berita bohong, ujaran kebencian dan konten radikal negatif itu sebenarnya kelompok kecil.
Namun, mereka sangat terorganisir dan selalu berisik (noisy minority). Sementara mereka yang menghendaki perdamaian adalah kelompok besar tetapi selalu diam (silent majority).
Karena itulah, jika kita sudah merasa lelah dengan ragam informasi hoax, ujaran kebencian dan konten radikal negatif yang meresahkan harus tidak boleh diam.
Ketika kita sudah jengah dengan kondisi ruang maya yang penuh dentuman konten negatif tidak boleh apatis dengan keadaan. Butuh kemauan dan keberanian untuk melakukan perubahan untuk perdamaian.
Ketika kita menginginkan perdamaian maka sejatinya kita harus berkontribusi sekecil apapun yang bisa dilakukan. Banyak orang yang menginginkan perdamaian tetapi hanya diam dan tidak beraksi.
Sejak dini kita harus mengatakan:
Berani damai, saatnya beraksi!
#BeraniDamaiSaatnyaBeraksi