Tulisan ini berawal dari artikel James L. Peacock yang berjudul “Comedy and Centralization in Java: The Ludruk Plays” dalam penelitiannya yang dilakukan pada tahun 1967.Artikel ini menjelaskan mengenai kesenian ludruk yang dipentaskan pada jalanan Kota Surabaya baik secara teknis maupun filosofis. Kesenian ludruk merupakan perpaduan dari unsur tradisional budaya Jawa dan Madura, yang dibuka dengan tari remo dan ditarikan oleh seorang perempuan.
Perempuan tersebut merupakan seorang istri dan diduga memiliki kekuatan magis atau iblis untuk merayu para pria dari istri mereka yang sebenarnya. Artikel ini membahas bagian dari kinerja ludruk, mulai dari merusak kesetiaan masyarakat kampung dan menggoda mereka ke dalam arena komersial pasar.
Alur cerita pementasan ludruk merupakan gambaran dari masalah pada kehidupan masyarakat. Meskipun pemain menyelewengakan dialog yang ada dalam monolog, pendengar mengungkapkan bahwa mereka merasakan sebuah identitas yang menampilkan dirinya sebagai orang kampung, mulai dari: pakaian, ucapan, dan masalah mereka. Sehungga mengingatkan masyarakat pada sejarah atau riwayat hidup mereka sendiri, dengan lawakan yang ditampilkan.
Seseorang yang bermain ludruk tak sekedar menyajikan candaan, namun juga menggambarkan masalah pribadi yang sedang ia alami diatas panggung, seperti: berjudi, balapan merpati dan main kartu pada malam hari. Seseorang yang menjadi korban dalam dialog selalu berlokasi atau setting tempat di kampung atau desa, sedangkan para lawan dialog hampir tidak pernah ditampilkan adegan yang menunjukkan rumah mereka. Penulis membagi korban menjadi dua jenis: diawali dengan dialog yang berada di rumah korban dan dialog yang berakhir di rumah korban.
Penduduk kampung yang umumnya terikat dengan norma dan nilai tradisional, serta bersifat rukun dan harmoni secara sosial. Pemain lawan yang membangun karakter lokal mereka berasal dari jalanan dan pasar, dengan candaan atau dialog yang dikeluarkan bersifat “omong kosong” dan permainan peran daripada norma-norma moral tradisi kampung dan desa. Sehingga tokoh yang menjadi peran adalah seseorang yang kontras dan berwatak lebih kasar atau keras dari watak tokoh yang menjadi korban. Karakter dari korban dalam pementasan ludruk berpacu pada moralitas masyarakat desa atau kampung, antara anak muda dan masyarakat yang lebih tua yang masih berkomitmen pada tradisi mereka atau bisa dikatakan sebagai tokoh protagonis.
Pemain ludruk yang berusia dua puluh lima dan lima puluh tahun, menyajikan topik atau alur cerita mengenai kegiatan ekonomi, politik, dan rekreasi sebagai ruang politik, diatas panggung. Oleh karena itu ludruk sebagai kesenian rakyat memiliki peranan yang besar dalam menggambarkan situasi masyarakat bahkan bisa digunakan sebagai sindiran terhadap pejabat atau pemerintah terhadap permasalahan saat ini.
Seperti isitilah ludruk menurut Van Gennep, yang berarti “ritual pemisahan.” Prolog ludruk membawa aktor dan penonton melalui serangkaian aksi simbolik yang terpisah dari tempat tinggal mereka yakni kampung. Prolog ludruk tidak hanya menentang slametan karena secara simbolis ludruk membuat pemain dan penonton keluar dari tradisi kampung, dan membangkitkan sentimen anti-kampung.
Ketika slametan mengungkapkan keselarasan satu sama lain dan menanamkan masyarakat pada nilai-nilai komunal. Ludruk membawa masyarakat ke arah yang berlawanan. seperti: masalah ekonomi, politik yang semakin terspesialisasi atau bersifat sentral, dan istem pendidikan masyakat yang mengalami ketimpangan. Sehingga prolog dalam pertunjukan ludruk mengatur alur cerita yang lebih eksplisit yang muncul di bagian akhir ludruk, seperti: lagu dan melodrama yang memusatkan penonton pada setiap aspek kehidupan manusia dan bangsa. Oleh karena itu slametan dan ludruk merupakan dua hal yang berkebalikan dan kontras, antara selaras dan kontras.
Penulis: Dewi Ariyanti Soffi (Duta Damai Jawa Timur)