Apa yang tak cukup penting dari lelucon. Lelucon kadang perlu bahkan wajib saat sekelumit hidup diselimuti kebuntuan logika. Bagi komedian, lelucon adalah jalan lain yang mesti dipakai saat akal sehat tak lagi mampu membuka kesadaran normal. Melampaui realitas lazim. Pun bagi yang lain, lazim lelucon boleh jadi menjadi hal yang tak penting. Tapi lelucon tetap lelucon. Iya, nyata adanya. Tak ada yang bisa menghukumnya.
alam cerita yang masyhur, sosok Abu Nawas merupakan bagian penting dari perjalanan lelucon itu. Ia dikenal sebagai manusia yang hampir seluruh hidupnya diisi dengan lelucon-lelucon. Logikanya terbalik, melawan arus, pun mendalam. Disaat kondisi genting dan beresiko besar sekalipun, sosok Abu Nawas sering dijumpai memungkin-mungkinkan hal tak mungkin bagi kebanyakan orang. Tapi ingat, bagi Abu Nawas, ketidakmungkinan adalah kemungkinan yang tidak dimungkinkan akal, yang mestinya itu sangat mungkin. Keterbatasan dan kedangkalan cara sajalah yang menutup cara-cara itu.
Ada sosok muncul dalam perleluconan modern. Sebut saja Abu Ikhwan Aziz (entah toko atau apalah), Anggap saja kang Ikhwan. Kang Ikhwan tak sama dengan Abu Nawas. Ia cukup unik dalam berlelucon. Keunikan Kang Ikhwan melampaui keunikan lelucon pada umumnya– keunikan yang unik, lebih unik dari yang unik. Siapa yang tak tertawa dengan pernyataan kang Ikhwan. Ya, inilah lelucon tingkat dewa–leluconnya lelucon. Hanya saja, jika Abu Nawas mendalam, kang Ikhwan kebalikannya. Entahlah.
“Kue Klepon Tidak Islami.” Ujar kang Ikhwan.
“Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syari’ah kami.” Lanjut Kang Ikhwan tak bertele-tele. Bayangkan saja Kang Ikhwan sedang beratraksi di mimbar masjid. Bersuara lantang, lalu para jama’ah riang-gembira–tertawa terpingkal-pingkal. (Hanya bayangan saja) hahahaha.
Cuplikan pernyataan yang mulai rame lewat twitter ini, entah, dari sisi apanya, klepon itu tak Islami. Dan entah bagaimana klepon yang islami itu. Ini menarik dibincangkan. Meski juga lebih menarik diabaikan. Cukup mengkerutkan kepala, tak cuma dahi. Sekali lagi, entah, entah, dan entah. Saya sedang tertawa tak berkesudahan. Ini benar-benar lelucon.
Kini, lelucon kang Ikhwan mendapat banyak respon yang semakin melahirkan lelucon-lelucon baru. Bagaimana tidak, ramai klepon-klepon yang dipasangkan kopiyah, tasbih, bahkan sorban. Nah, komedian sebagaimana kang Ikhwan ini mestinya lestari. Bagaimana tidak, ditengah ramainya tendensi sosial-kemanusiaan, kang Ikhwan justru tampil dengan jurus dan lelucon yang cukup fenomenal.
Dari lelucon ini, sebagai yang beragama, mesti sadar bahwa konsep dan model keberagamaan itu sarat keunikan dan seni. Jadi wajar jika bermacam-macam. Ada yang wajar, pun tak wajar–alias konyol. Namun mestinya kita biasa saja. Tak perlu reaksioner dan merespon dengan membabi-buta. Sebab, emosi menyikapi lelucon adalah hal bodoh. Jadi, biasa saja.
Fanatik agama, perlu. Mendalami agama jauh lebih perlu. Agama itu ajaran. Ajaran yang mesti substantif (kontekstual). Tak belaka skriptualis (tekstual). Menjalankan sholat itu ajaran formal agama, sedang wujud prilaku (perlakuan) adalah agama itu sendiri. Agama itu ada dalam dirimu, bukan di Kelepon. Sebab kelepon itu, olahan singkong. Bukan olahan ajaran agama. Pun bukan agama. Jadi tak perlu disyar’i-syar’iakan. Jika perlu, mestinya bahan bakunya bukan singkong. Bisa saja berbahan baku kurma, daging onta, atau bahkan ramai dijajakan di Arab. Maka kelepon tetaplah kelepon. Ya, makanan yang yahut berasal pedesaan.
Menyikapi pernyataan kang Ikhwan soal klepon Syar’i ini, Maka agama mestinya mengarifi tiap realitas. Bukan mempersalahkan. Mencari jalan keluar, bukan malah memerumit dan membikin sukar, merangkul perbedaan bukan memperkeruh perselisihan. Pertanyaannya, apa kemudian relasi agama dan klepon? Sekali lagi, entahlah. Mau syar’i atau tidak, sekali lagi, klepon tetaplah klepon–Bentuknya bulat, berukuran kecil. Warna umumnya hijau, dengan taburan kelapa parut yang gurih menambah cita rasa. Di dalamnya ada gula merah. Saat digigit, gula merah itu meleleh memenuhi mulut, memberikan sensasi manis khas yang tidak berlebihan.
Pada akhirnya, daripada kita memperumit realitas dengan mengagamakan kelepon. Mending belajar nilai-nilai kegamanan secara filosofis dari kelepon. Sebagaimana dalam buku Indisch leven in Nederland (2006) milik J. M. Meulenhoff, Klepon telah dikenal oleh orang-orang Belanda. Sejak 1950-an, klepon diperkenalkan oleh imigran Indonesia ke Belanda dan tersedia di berbagai restoran Belanda, Cina, utamanya di Indonesia. Pun dalam histori-filosofisnya yang masyhur, klepon adalah wujud simbol dari kerasnya tiap perjalanan yang pasti bakal berbuah kemanisan.
Pun dalam hal ini, penting kita dudukkan bahwa tiap peristiwa apapun, mestinya mewajahkannya dengan respon-respon yang tetap memprinsipkan nilai kemanusiaan, bukan?
Akhir kata; maka klepon mana lagi yang kalian dustakan?
BIODATA PENULIS
MOHAMMAD AFIFI merupakan aktivis perdamaian yang saat ini aktif sebagai KoordinatorGUSDURian Bondowoso dan Founder Padepokan Nyai Surti Bondowoso
tulisan yang mendamaikan. trimakasih.
Hahahaha… mengislamkan klepon sudah lucu karena ada nilai lelucon tetapi lelucon super konyol lagi bila ada klepon islami.