Misrawi mencatat, dalam perjalanan sejarah KH. Hasyim Asy’ari menentang keras segala bentuk penjajahan asing terhadap negeri tercinta. Pada masa kolonialisme, ia mengimbau segenap umat Islam agar tidak melakukan donor darah kepada Belanda. Selain itu, ia juga melarang para ulama mendukung Belanda dalam pertempuran melawan Jepang. Haram hukumnya berkongsi dengan penjajah karena penjajahan dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam Islam.
Kemudian mbah Hasyim mengisahkan tentang pengalaman Nabi Muhammad Saw saat hendak mendapatkan penghargaan dari kaum Quraiysh Mekkah, yaitu berupa kedudukan yang tinggi, harta yang melimpah, dan perempuan yang cantik. Tetapi beliau menolak mentah-mentah tawaran itu sembari berkata kepada Abu Thalib, “Demi Allah, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku serta bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tidak mau. Dan aku berjuang hingga cahay Islam merata di mana-mana atau aku binasa.”.
Oleh karena itu, pada masa penjajahan Kyai Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang berada di garda terdepan dalam rangka menentang segala macam penindasan yang dilakukan oleh para penjajah. Salah satu perannya yang sangat populer ialah tatkala ia mengeluarkan fatwa perlawanan terhadap Belanda. Fatwa tersebut terdiri dari tiga butir.
- Pertama, perang melawan Belanda ialah jihad yang wajib dan mengikat bagi seluruh umat Islam Indonesia.
- Kedua, kaum Muslimin dilarang menggunakan kapal Belanda dalam beribadah.
- Ketiga, kaum Muslim dilarang menggunakan atribut yang menyerupai penjajah.
Jihad yang dideklarasikan oleh KH. Hasyim Asy’ari itu dicatat dalam sejarah sebagai jihad kebangsaan. Bangsa Indonesia yang saat itu dalam posisi terjajah mempunyai hak untuk memerdekakan diri dari berbagai penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Jihad tersebut terbukti sangat efektif dalam membakar patriotisme umat sehingga para penjajah dapat dienyahkan dari Bumi Pertiwi. Salah satu ekspresi cinta tanah air adalah membela kedaulatan dan mendorong kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan. Hal tersebut harus menjadi komitmen bersama, dalam rangka memelihara solidaritas kebangsaan yang tumbuh di negeri tercinta.
Hal Ini telah menjadi bukti nyata dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Menjadi bangsa yang majemuk agama, suku, budaya, adat-tradisi, bahasa dan etnis telah mampu menyatukan suara dari Sabang sampai Merauke. Tidak diragukan lagi, suara lantang dari pekikkan seorang penyadur lidah rakyat kala itu, mampu membangkitkan jiwa semangat nasionalisme dan patriotisme, siapa lagi kalau bukan Bung Tomo. Surabaya pecah, atas resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 dan puncaknya pada 10 November 1945 yang kemudian kita semua peringati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Kekompakkan dan kebersamaan satu visi-misi bersama dalam membebaskan diri dari kungkungan penjajahan. Masyarakat Indonesia telah membuktikan dengan adanya resolusi jihad dari KH. Hasyim Asy’ari, fatwa jihad dari umat Islam Aceh dan spirit keislaman dari kelompok Islam di Kalimantan, mereka semua sepakat bahwa Indonesia harus dipertahankan kemerdekaannya. Mereka semua juga berbeda, tapi mereka mempunyai tujuan yang sama yakni kemerdekaan bangsa Indonesia.
Wujud nyata dari perjuangan mereka semua, harus bisa kita implementasikan dan teladani sebagai bentuk pelajaran dan pendidikan kebangsaan yakni begitu pentingnya merajut keharmonisan dalam kemajemukan untuk kebersamaan. Perjuangan hari ini, bukan lagi seperti mbah Hasyim Asy’ari yang harus mengeluarkan fatwa jihad, atau Bung Tomo dalam menyuarakan kebangsaan dari radio ke radio, melainkan dengan menjalankan tugas sebagai pribadi atas tanggungjawab apa yang hari ini kita lakukan, penuh dengan semangat, kejujuran dan kekhidmatan.
Sholikhah menjelaskan begitu pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan umat. Supaya terbentuk sebuah perjuangan yang bisa memberikan hasil bagi masa depan. Persatuan dan kesatuan umat sangat penting dalam menghadapi Belanda. KH Hasyim Asy’ari memberi penjelasan bahwa kekuatan fisik belum tentu bisa menjadi jaminan, melainkan persatuan hati yang diharapkan mampu melahirkan kesatuan idealisme dan cita-cita bersama, sehingga imperialisme penjajah dapat dengan mudah dilawan. Nasionalisme dalam kacamata KH. Hasyim Asy’ari bukan hanya sebuah istilah. Namun, merupakan manifestasi konkrit dan kecintaan seseorang pada tanah airnya, yang harus dibuktikan dengan sebuah pengorbanan. Hal inilah yang kemudian menjadikan Kh. Hasyim sebagai pahlawan nasional.
Masykuri menyampaikan begitu banyak pesan yang bijak dari sosok Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Misalnya dalam konteks kenegaraan, kebangsaan yang termanifes dalam jiwa nasionalisme religius, persatuan, persaudaraan, persamaan, keadilan, kepahlawanan, sifat pengorbanan. Cita-cita dan pesan tersebut sejatinya harus bisa kita semua praktikkan dalam setiap perjumpaan dalam kehidupan. Apakah terpatri pada satu agama? Apakah terpatri pada satu suku? Apakah terpatri pada satu etnis? Apakah terpatri pada satu kelompok tertentu? Tidak. Semua itu wajib bagi semua umat di Indonesia. Gus Dur menjelaskan bahwa tujuan beragama ialah kemanusiaan, di sambung Soekarno “the Mankind is one”.
Dalam hal ini, perjalanan intelektual dan perjuangan patriotik KH. Hasyim Asy’ari patut dijadikan sebagai contoh bahwa kecintaan terhadap agama harus sejalan dengan kecintaan terhadap tanah air kita. Tidak seperti fenomena keberagamaan belakangan ini, yang kecintaan terhadap agamanya kerap kali melupakan kecintaan terhadap tanah air yang melahirkannya. Kiai Hasyim ialah panutan yang menjadikan Islam dan spirit kebangsaan saling mengisi dan menyempurnakan. Atas jasanya pula, bendera Indonesia pun berkibar.
Sehingga kecintaan kita dalam beragama juga harus terbarengi dengan kecintaan kita dengan tanah air kita. Ini penting sekali dalam hidup beragama pada konteks realitas. Keberadaan keimanan lain juga harus kita saling menghargainya. Agar dalam meramu kehidupan yang penuh dengan keberagaman ini bisa menjadi tujuan bersama dalam merekonstruksi indahnya kebersamaan dalam keragaman. KH. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh Islam, bisa diambil manfaatnya dalam setiap perjuangannya, terutama pada nilai-nilai patriotisme dan kekhidmatannya untuk umat dan bangsa. Sehingga mengakui keberadaannya dan menghargai kegiatannya ialah salah satu wujud hidup yang cinta tanah air juga cinta kemanusiaan untuk keharmonisan dalam keberlangsungan hidup bersama.
Penulis: Ahmad Zainuri
Sumber gambar: www.goodnewsfromindonesia.id