Penulis : Ajeng Adinda Putri
Rethinking Hadis I’tikaf Perempuan Melalui Perspektif Bahasan dan Ungkapan
Tak dapat dipungkiri bahwa ditemukan kejanggalan yang belum terungkap dalam kajian kualitas kesahihan matan, yakni menyoal ungkapan hadis dan redaksinya yang kurang logis. Terlebih justifikasi ulama hadis dengan beragam argumentasi mereka yang memberikan syarah yang secara singkat menyinggung soal illat hukum dimana para ulama memposisikan hadis sebagai dasar dalam melarang perempuan untuk I’tikaf di masjid dikarenakan illat keamanan, riya’, dan ujub yang tercermin dalam berbagai kitab syarahnya.
Persoalan keamanan, riya’, dan ujub tidak hanya memonopoli perempuan, tetapi laki-lakipun tidak menutup kemungkinan juga dilanda kecemasan tersebut meskipun perempuan terlebih kondisi sosio-kultur saat dahulu (zaman nabi-nabi) lebih besar. Yang perlu digarisbawahi adalah batasan sosio-kultur, bukan pada ranah konstruksi sosial gender akan perempuan pada kaitannya dengan I’tikaf.
Hal ini dikarenakan sampai saat ini belum pernah terdengar dari segi data penelitian, khazanah kitab klasik hingga pada penuturan sejarah bahwa seseorang yang tengah melakukan I’tikaf tiba-tiba mendapat perlakuan tidak senonoh dari orang lain, terganggu keamanannya, dilcehkan, dsb. Pula apa yang dikedepankan al-Bukhari pada penulisan sub judul I’tikaf dalam kitabnya Sahih al-Bukhari dengan judul “I’tikaf perempuan” perlu dikritisi. Sebab, hal itu mengindikasikan bahwa terjadi dikotomi dalam ibadah : I’tikaf laki-laki vs I’tikaf perempuan dengan segala aturannya.
Tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin apabila menyoal praktik I’tikaf. Dalam sholat berjamaah di masjid saja, Nabi tidak pernah melarang para istri dan kaum perempuan pergi berjamaah bahkan sebaliknya menganjurkannya. Hal itu misalnya sering diungkap dalam berbagai hadis riwayat al-Bukhari bahwa Nabi menyediakan salah satu pintu masjidnya untuk perempuan, dalam suatu kesempatan jika beliau diikuti oleh makmum perempuan yang kebetulan membawa anak kecil, memperpendek bacaan solat, beliau juga bersabda agar tidak melarang sahaya-sahaya Allah mendatangi masjid-masjid Allah.
Yang perlu dikritisi terkait praktik I’tikaf pada abad 20-an ini adalah cara pandang ulama dalam memaknai hadis larangan I’tikaf yang hanya terbatas pada wacana saja. Sedangkan secara praktiknya justru jauh melesat ke depan. Jadi mengapa meributkan soal I’tikaf jika seseorang untuk pergi haji saja cukup aman walaupun tanpa disertai suami, kakak, adik atau saudaranya (muhrim), atau para perempuan muslimah keluar masuk kota, negara untuk keperluan belajar yang juga tidak dipersoalkan.
Kajian Teks Hadis I’tikaf Perempuan : Gap Antara Konsep dan Praksis
Kajian I’tikaf perempuan dan sejenisnya berkaitan bias gender dan kesetaraan gender sangatlah banyak pada tataran konseptual; yang terpatri dalam sejumlah kitab-kitab hadis, kitab-kitab syarah hadis, fiqih, yang menjadi tugas kita semua. Konsep-konsep tersebut masih memerlukan penafsiran ulang sebab sebagaimana dimaklumi bahwa ajaran Nabi masih menyisakan sebagian besar hal-hal yang temporal yang memerlukan kontekstualisasi dan penerjemahan kembali tanpa menghilangkan maqashid syari’ahnya.
Sementara pada tataran praksis, konsep-konsep itu sudah melewati penjabarannya terlalu jauh ke depan sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutannya. Secara konseptual, I’tikaf perempuan yang menjadi tema kajian ini masih polemik, pro-kontra antara boleh dan tidak, tetapi pada tataran praksis I’tikaf perempuan kini sudah tidak lagi menjadi kendala sejalan dengan hilangnya illat hukumnya.
Adapun solusi yang bisa ditawarkan, yakni 1) perlu segera dirumuskan metodologu penelitian hadis yang lebih dinamis, efektif, dan akurat tanpa harus meninggalkan tradisi lama (frame lama), 2) mengakomodir hadis-hadis missogini dan bias gender baik yang sudah diteliti dalam satu buku maupun yang belum diteliti untuk direkomendasikan agar diteliti, 3) sosialisasi hasil penelitian kepada masyarakat.
Simpulan
Hadis I’tikaf perempuan al-Bukhari memiliki dua proses hukum. Pertama, kebolehan I’tikaf, Kedua, larangan I’tikaf dikarenakan terdapat illat hukum yang menyebabkan dilarangnya I’tikaf (keamanan [sic], riya, ujub). Kemudian hadis yang kedua dimana mengkomparasi hadis pertama kembali membolehkan I’tikaf setelah tidak ada illat hukumnya. Dengan demikian, hukum asal I’tikaf merupakan boleh bagi perempuan (tidak ada diskriminasi). Hasil ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan I’tikaf perempuan dan kajian hadis missogini tidak terletak pada soal kualitas kesahihan sanadnya, tetapi justru fokus pada soal bagaimana memaknai kembali soal tekstual dan kontekstualnya. Oleh karenanya, penajaman analisis dan pengkayaan pandangan harus dilakukan.