Peristiwa sakral Isra dan Mi’raj terjadi pada tahun ke-8 setelah Nabi Muhammad saw diutus Allah swt untuk berdakwah menyebarkan agama Islam tepatnya pada 27 Rajab tahun Hijriah. Pada tahun itu, sebelum terjadinya Isra dan Mi’raj istri tercinta sekaligus pelindung Nabi yakni Siti Khatidjah dan pamannya Abu Thalib wafat. Tak ayal hujatan, caci maki, dan propoganda yang dilayangkan kepada Nabi semakin masif. Sehingga ada yang mengatakan bahwa tahun ke-8 adalah tahun duka bagi Nabi, kemudian Isra dan Mi’raj adalah hiburan yang diberikan Allah swt berupa perjalanan intelektual dan pendakian spiritual. Isra sendiri memiki pengertian perjalanan di malam hari dan Mi’raj adalah alat atau kendaraan untuk mendaki.
Di berbagai negara yang mayoritas muslim, Isra dan Mi’raj menjadi peringatan yang istimewa. Bagaimana tidak, pada peristiwa tersebut terdapat salah satu mukjizat kenabian berupa lahirnya kewajiban shalat dalam islam. Selain itu, dalam perjalanan Nabi Muhammad Saw bertemu dan berkisah dengan para Nabi terdahulu. Nabi Muhammad memulai membangun peradaban setelah melalui peristiwa spiritual Isra dan Mi’raj.
Sekurang-kurangnya ada pelajaran yang bisa kita ambil dari Isra dan Mi’raj. Pertama adalah pelajaran tentang petualangan intelektual. Di tengah arus global dan majunya peradaban sebagian umat islam kering akan intelektualitas. Hal ini bukan berarti mereka tak mau berfikir akan tetapi membatasi pemikirannya dan mengklaim pembenaran atas kelompoknya. Tak heran jika kemudian muncul kelompok islam yang fundamentalis.
Beragama dengan cara kolot dan reaksioner yang ingin kembali ke ajaran murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dampaknya sering kita jumpai tindakan-tindakan intoleran tidak hanya kepada kelompok agama lain, bahkan sesama umat islam juga dimusuhi. Virus-virus kebencian, banjir hoaks, dan propoganda yang dahulu dialami Nabi kini disebar dan digoreng sedemikian rupa untuk memecah belah persatuan dan kesatuan antar umat beragama, bangsa dan negara. Intelektual umat islam akan dipertanyakan ketika nalar tiba-tiba berhenti. Ketika nalar berhenti akan membentuk pribadi yang intoleran.
Maka di momen Isra ini penting untuk melakukan petualangan intelektual dengan mengkaji kitab suci dan membuka wawasan ilmu pengetahuan seluas-luasnya. Terlebih apabila mampu terbuka untuk menerima perbedaan sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah. Petualangan intelektual dengan berfikir bebas, transformatif dengan tidak menutup diri akan membentuk pribadi yang toleran, bersifat inklusif dan tidak pongah terhadap diri atas pembenaran ilmu pengetahuan yang dimiliki. Petualangan intelektual adalah upaya menjaga akal dari nalar kebencian, kebohongan, dan kedengkian yang menjalar ke semua lini kehidupan.
Pelajaran kedua adalah pendakian spritual. Penting untuk direnungkan salah satu mukjizat kenabian berupa shalat terjadi pada peristiwa Isra dan Mi’raj. Sekurang-kurangnya filosofi yang dapat diambil dari shalat adalah gerakan sujud. Dalam sujud terdapat keistimewaan berbisik ke bumi bergetar di langit. Membaca Subhaana robbiyal a’laa wa bihamdihi yang artinya Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Tinggi, dan memujilah aku kepada-Nya, bermakna manusia semakin merendah maka Allah akan mengangkat derajatnya dan sebaliknya ketika manusia bersikap sombong maka Allah akan menurunkan derajatnya. Dalam pada itu sebagai orang yang beragama, tak perlu kemudian bersikap eksklusif dan bertindak radikal atas nama agama.
Moment Isra dan Mi’raj adalah perjalanan menapaktilasi perjalanan Nabi terdahulu yang dikisahkan Allah kepada Nabi Muhammad dan umatnya untuk meneguhkan perjuangan dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan serta membela bangsa dan negara. Petualangan intelektual dan pendakian spiritual adalah upaya untuk menciptakan keseimbangan peradaban yang harmonis. Petualangan intelektual (iqra) apabila tidak dibarengi dengan pendakian spiritual (bismi rabbika) maka akan membentuk pola pikir yang liberal. Sebaliknya, apabila hanya melakukan pendakian spiritual (bismi rabbika) takbirtanpa pernah bejalar (iqra), maka akan cenderung bersikap radikal. Silahkan pendakian intelektual sejauh-jauhnya ke China dan Eropa, tapi pendakian spiritual harus setinggi-tingginya.
Penulis : Moh Yajid Fauzi S.H (Duta Damai Jawa Timur)