Kirab kemerdekaan tahun lalu, Agustus 2018, di Probolinggo Jawa Timur yang diaktori oleh anak-anak TK bercadar dengan membawa replika senjata membuat heboh dunia maya. Banyak tanggapan terkait hal itu, di antaranya dari Katib Aam PB NU dan salah satu aktivis gerakan sosial. Gus Yahya dan Lies Marcoes.
Sebagaimana dilansir dari portal berita resmi NU, Gus Yahya menyampaikan bahwa pawai dengan memakai pakaian hitam-hitam sambil menenteng replika senjata tersebut merupakan bentuk propaganda radikalisme. Dalam konteks tampilan simbolik yang dikenal luas dalam masyarakat, pakaian hitam-hitam dan bedil otomatis itu cuma ada pada kelompok-kelompok radikal sejenis ISIS.
Sedangkan, Lies Marcoes membaca dari kaca mata yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitiannya tahun 2014. Ia menemukan fakta, pemerintah lokal suatu kabupaten, membuat kebijakan dan menerapkan syariat islam untuk menjaga anak perempuan dari prilaku buruk. Anak perempuan tak boleh menari, melarang pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, karena dianggap akan merusak aqidah.
“Karena mayoritas pendudukan Indonesia beragama Islam, TK dan PAUD diisi oleh anak-anak komunitas Muslim. Dan seperti sebuah aksioma yang wajar dan masuk akal, pendidikan TK pun dijadikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan warga. Karenanya bertebaranlah TKIT- TK Islam Terpadu,” tambah Lies Marcoes.
Penulis juga merasakan hal yang sangat berbeda, antara pendidikan usia dini dahulu dan sekarang. Dahulu, sebelum ada PAUD, pendidikan usia dini hanya ada di TK, yang dilampaui dalam kurun dua tahun. Sedangkan, saat ini, ada pendidikan Pra-TK, yang dikenal sebagai PAUD.
Kala itu, tidaklah menjadi hal yang wajib atau dianjurkan kepada setiap anak untuk menggunakan jilbab/ hijab saat TK. Bahkan, hampir semua teman perempuan penulis saat di TK tidak ada satupun yang menggunakan jilbab. Akan tetapi, saat ini, kerap kita temui anak TK, bahkan PAUD sudah menggunakan hijab.
Penulis sepakat dengan pendapat Lies Marcoes, di mana TK dan PAUD telah diisi oleh anak-anak komintas Muslim dan menjadi lembaga keagamaan warga. Dari situlah akar persoalannya. Islam komunal berhaluan islamis menjadikan ruang pendidikan usia dini sebagai ladang doktrinal dan kapital.
Pertama, sebagai lahan doktrinal. Di mana lembaga pendidikan usia dini telah menjadi lahan pendidikan keagamaan (islam), dengan menganjurkan anak menghafal dogma dan doa- doa. Padahal, sejatinya dunia anak adalah dunia bermain. Bukan berarti si anak hanya diajarkan permainan. Akan tetapi, bagaimana kemasan pendidikan itu dibuat seenjoy mungkin, sehingga anak mudah menangkap pesan.
Kedua, sebagai lahan kapital. TK atau PAUD saat ini telah menjadi lahan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Tidak hanya TK dalam suatu desa atau kota. TK di desa dan kota sama saja, meskipun masih lebih tinggi di kota. Hal itu dibuktikan dengan pembayaran SPP bulanan atau kebutuhan lainnya. Selain itu, terlampau banyak program berkedok islami yang diagendakan, seperti; kemah islami, pentas seni islami atau lainnya, yang budget nya tinggi.
Persoalan di atas menunjukkan bagaimana pendidikan usia dini di bingkai. Mulai dari persoalan fisikal hingga substansial. Pendidikan usia dini yang semakin mahal pun tengah membuat ketimpangan sosial, khususnya di komunitas Muslim. Sedangkan hal lain yang tidak kalah penting adalah falsafah pendidikan usia dini yang eksklusif.
Pendidikan usia dini telah menunjukkan wajahnya yang eksklusif. Si anak didik hanya diberikan pandangan tunggal dalah melihat realitas. Pandangan itu adalah pandangan keagamaan, atau paradigma keagamaan. Paradigma pendidikan berbasis agama ini akan menjerumuskan anak pada kebebalan dan ketumpulan nalar. Sehingga anak tidak bisa berpikir kritis.
Paradigama agama yang diterpaka kepada anak, akan membentuk mental anak sebagai mental penurut dan patuh. Dalam tanda kutip, kepatuhan itu tidak baik bagi pertumbuhan anak. Anak hanya diberi kesempatan berpikir satu sisi, bahkan naifnya dengan dalil agama. Misal; jangan makan ini, ini haram; jangan menyangkal guru, itu tidak sopan atau gunakan hijab bagi putri, itu aurat.
Sehingga, yang ada di kepala anak adalah pelarangan dan anjuran dogmatik. Anak jarang dilibatkan dalam proses berfikir terbuka. Kenapa tidak diperbolehkan makan ini, menyangkal guru atau lainnya. Akibatnya si anak, akan pasif.
Pendidikan anak di era milenial perlu menggunakan paradigma pendidikan inklusif. Pendidikan yang dapat membuka kemampuan diri si anak dalam segala hal. Kemampuan berbicara, mendengar, menulis, berkarya hingga menyelesaikan masalahnya sendiri.
Selain itu, pendidikan inklusif juga perlunya memperkenalkan keterbukaan. Bahwa di dunia ini dihuni oleh banyak orang dengan kemampuan yang berbeda, suku yang berbeda hingga agama yang berbeda. Dengan hal itu, si anak akan lebih dini mengenal perbedaaan dan keberagaman.
Pendidikan inklusif juga bisa ditanamkan kepada anak dengan cara mengakrabkan dirinya dengan kearifan lokal. Kearifan lokal bangsa ini, di mana tersimpan sejuta manuskrip, cerita lisan, artefak, hingga permainan tradisional. Karena kearifan lokal adalah bagian dari nilai luhur Pancasila.
Si anak perlu mengerti produk kebudayaannya sejak usia dini. Wawasan akan kebudayaan itu akan membentuk karakter diri anak yang beridentitas lokal dan nusantara. Sehingga si anak sudah mengenal identitas bangsanya sejak dini, mengenal keberagaman hingga kearifannya.
Inklusifitas dalam pendidikan usia dini tersebut dapat membangun karakter diri anak yang lebih mencintai bangsa dan tanah air. Inklusifitas membuka wawasan si anak untuk bisa berlaku adil dan bijak sejak dini. Selain itu, pendidikan inklusif tidak membutuhkan biaya yang mahal.
Penulis: Al Muiz Liddinillah